Selasa, 07 Oktober 2008

Korupsi: Sebuah Telaah Sosiologis

KORUPSI: SEBUAH TELAAH SOSIOLOGIS


Dalam media cetak, televisi, dan radio lokal, nasional maupun regional kita disuguhkan dengan berita tentang korupsi. Dari media kita menyaksikan bagaimana gagah perkasanya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) membongkar institusi negara dan private, bahkan mulai mempelototi kantong dan isi dompet orang-orang yang dianggap merugikan negara dan masyarakat.
Satu sisi kita senang dan bangga. Bagaimana tidak, selain telah menjadi terobosan penting dalam penegakan hukum dan social justice, sepak terjang KPK juga kini telah mulai dilirik oleh negara-negara tetangga tentang bagaimana membangun sebuah institusi yang tanpa ampun melibas pihak-pihak yang disinyalir selama ini membawa keterpurukan ekonomi negara.
Layaknya Texas Ranger yang sangat ditakuti mengejar kriminal di jaman cowboy, dengan garangnya KPK menjebloskan petinggi dan mantan elit negeri ke dalam penjara dan rumah tahanan. Orang-orang yang sebelumnya tak tersentuh oleh hukum kini mulai sakit jantung membayangkan rasa malu dan dinginnya terali besi bui.
Kita bangga karena dalam sistem hukum yang masih bisa direkayasa seperti sekarang, ada gebrakan yang menyejukkan hati. Kita senang karena dalam kondisi orang masih makan nasi aking dan makan makanan sisa hotel berbintang ada tindakan hukum terhadap orang-orang yang menggerogoti keuangan negara. Dan yang lebih menghibur, kita mulai percaya bahwa di negara ini masih ada orang-orang yang walaupun tidak secara sukarela dan tegas telah menyatakan perang terhadap korupsi.
Jauh-jauh hari memang sudah banyak ilmuan sosial yang menelaah korupsi. Namun telaah tersebut sering kali mempengaruhi kita untuk pesimis, skeptis ataupun fatalis dalam melumpuhkan kekuatan korupsi. Lihat saja apa yang dikatakan Gunnar Myrdal, seorang pemenang Nobel atau Bo Rothstein yang meneliti korupsi pada birokrasi di eropa maupun Amerika. Korupsi mereka anggap sebagai sebuah permainan yang sulit dihentikan dan mustahil dihapuskan melalui tindakan kolektif dan secara bottom up. Apakah memang demikian?
Untuk menjawabnya, mari sama-sama kita analisis berdasarkan beberapa pendekatan keilmuan. Pandangan pertama –sekaligus paling awam digunakan- adalah yang menyatakan korupsi adalah bentuk penyimpangan (social deviation) atau penyakit sosial (social pathology). Mereka yang setuju dengan pendapat ini menyatakan, segala sesuatu yang melanggar keteraturan sosial (social order) dalam satu sistem sosial merupakan konsekuensi logis dari terjadinya kegagalan sebuah komponen sosial menyesuaikan diri terhadap komponen sosial lainnya (ekonomi terhadap hukum atau sebaliknya). Dengan kata lain, ketika kesejahteraan jauh di depan mata, maka tindakan yang berorientasi keuntungan sepihak dan melanggar hukum menjadi pilihan. Guru jualan buku, pegawai korupsi waktu untuk ngobyek di tempat lain, pekerja bangunan mengurangi komposisi semen dan fakta lain yang awam terjadi pada kelas masyarakat miskin. Demikian juga sebaliknya, saat elit politik, teknokrat yang duduk di birokrasi atau lembaga keuangan melihat besarnya celah hukum dan birokrasi, maka kecenderungan menggerogoti kekayaan negara dan rakyat yang melumpuhkan ketahanan ekonomi akan terjadi.
Namun sayangnya, pandangan yang dipengaruhi paradigma struktural fungsional ini menganggap penyakit sosial atau penyimpangan sosial ini bukanlah suatu yang negatif, bahkan cenderung alamiah dalam sebuah sistem sosial atau seperti sebuah permainan buruk semata. Sebagai sebuah fakta yang alamiah, maka tidak harus (tidak mungkin) untuk dihapuskan. Malah secara ekstrim sebenarnya paradigma ini beranggapan, korupsi adalah sebuah fakta yang mampu mendinamisasi sistem sosial, ekonomi, politik dan hukum yang belum matang atau masih dalam proses transisi. Tanpa korupsi, sistem politik, ekonomi, sosial dan hukum akan mandek karena ketiadaan mekanisme formal yang mengatur.
Pandangan kedua sedikit berbeda dengan yang pertama, yakni dari kacamata pemikiran kritis. Mereka yang berada dalam perspektif ini beranggapan korupsi adalah buah dari kegagalan total dari sistem ekonomi berbasis kapital yang development deterministik. Walaupun dianggap cukup ekstrim, namun kalangan ini percaya bahwasannya sistem ekonomi dan politik formal dan determinan pada pertumbuhan ekonomi menjadi akar terjadinya degradasi moral dan struktur sosial, tak terkecuali fakta bernama korupsi.
Berdasarkan pandangan kedua, korupsi bukanlah sebuah fakta alamiah, namun dikondisikan oleh sistem ekonomi, politik dan sosial yang tidak adil dan yang memenjarakan nilai maupun norma orisinil masyarakat. Jadi wajarlah jika akibat pengkondisian ekonomi berbasis kapital telah menghomogenkan orientasi manusia. Ingin cepat kaya, kaya dengan cara mudah, hidup berlimpah, kompetisi berlandaskan sumberdaya faktual tertanam seragam di fikiran manusia. Untuk merubahnya maka pandangan kritis tidak menawarkan resep tambal sulam seperti pandangan pertama. Penegakan hukum memang perlu, pemberantasan korupsi memang harus, namun perubahan sistem atau pengembalian fungsi sistem seperti semula adalah rumus paling manjur.
Pandangan ketiga lebih bersifat mikro dan menawarkan perbaikan di tingkat individual. Mereka yang termasuk pada aliran ketiga ini percaya bahwa perbaikan sub sistem atau komponen sosial ataupun perubahan sistem secara radikal tidak akan menyelesaikan persoalan-persoalan sosial semisal korupsi. Titik pusat terjadinya korupsi adalah ketika hubungan sosial yang dibangun oleh pengalaman, pengetahuan, pertimbangan kondisi dan penterjemahan terhadap simbol komunikasi mengarahkan seseorang untuk korupsi.
Jika seseorang dihadapkan pada situasi dimana dia bisa melakukan korupsi, namun dari pengalamannya atau orang lain tidak berdampak negatif, ataupun ketiadaan referensi yang mendukungnya untuk menolak melakukan korupsi, maka ia akan cenderung korup. Begitu juga ketika kondisi yang tanpa kontrol, dan stimulus yang diterimanya dalam proses komunikasi dengan orang lain cenderung mengarahkannya untuk melakukan korupsi, tentu hal itulah yang akan dilakukan, meski ia bukan orang yang kekurangan atau bergaji rendah.
Pandangan ketiga yang bersifat behavioristik ini menawarkan rumus penyelesaian yang tidak terlalu membanggakan seperti pendekatan pertama ataupun menakutkan seperti pandangan kedua. Mereka yakin perbaikan melalui adanya kontrol di tingkat kelompok masyarakat kecil seperti keluarga, peer group (pertemanan), ketetanggaan, atau kelompok kecil lainnya adalah lebih efektif. Dengan demikian, maka akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman yang menjauhkannya dari tindakan korupsi. Nantinya, ketika kontrol, pengalaman, pengetahuan yang mendorongnya tidak melakukan korupsi telah terkondisikan, maka melalui komunikasi yang terjadi ia akan menterjemahkan stimulan dari proses komunikasi yang tidak akan korup.
Tentu saja pendekatan ketiga dilakukan dalam proses yang lebih lama dibandingkan dengan pendekatan pertama yang fenomenal atau pendekatan kedua yang radikal. Perbaikan dilakukan dari bawah, yakni dari kehidupan sehari-hari di dalam keluarga, dengan tetangga, teman sekantor atau teman sepermainan. Jika pendekatan ketiga dilakukan, maka apa yang terjadi seperti sekarang tidak akan terjadi lagi. Di televisi, media cetak dan radio kita bangga ada kumpulan orang dalam sebuah institusi bernama KPK giat menangkap koruptor, namun di kantor kita sendiri kita diam, berlagak tidak tau atau malah membangun interaksi dan komunikasi yang menyuburkan korupsi. Kita geram melihat koruptor yang tertangkap bahkan ingin mereka mengenakan seragam khas untuk menimbulkan efek jera dan malu pada mereka. Tapi sayangnya kita segan menegur teman sekerja, tetangga, anggota keluarga ataupun teman dekat yang kita anggap hanya melakukan korupsi kecil-kecilan.
Tinggal sekarang kita yang memutuskan, mana yang lebih tepat dari ketiga pandangan di atas. Pendekatan fungsional struktural menghasilkan orang-orang berseragam khas dan memenuhi penjara dengan koruptor. Pendekatan kritis banyak dihindari karena kita merasa sistem sudah ideal namun implementasinya yang menyimpang. Sedangkan pendekatan behavioristik bisa dimulai sekarang dan oleh siapapun. Silahkan memilih!

Oleh:
Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si
Staff pengajar FISIPOL Universitas 45 Mataram dan anggota Nusa Tenggara Resource Center (NRC).

Tidak ada komentar: