Kata Pengantar
Setelah dua tahun berjalan, akhirnya penelitian pengupahan yang dilaksanakan oleh PKPS sampai pada titik akhir. Dengan diterbitknnya buku hasil penelitian ini diharapkan mengantarkan PKPS sebagai salah satu institusi non pemerintah bidang perburuhan dan isu-isu sosial lainnya menjadi lebih memposisikan diri di pihak rakyat yang menjadi korban pembangunan, terutama buruh.
Diakui bahwasannya ada banyak kendala yang menyebabkan hasil penelitian ini dari segi waktu cukup terlambat dipublikasikan kepada masyarakat luas yang memiliki perhatian sekaligus keprihatinan sama terhadap kondisi perburuhan, terutama terhadap sistem pengupahan yang dirasakan sangat tidak adil.
Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) sendiri yang sudah 15 tahun mengikatkan diri dalam perjuangan-perjuangan rakyat akar rumput dan buruh belum banyak melakukan kerja-kerja kajian yang kemudian dipublikasikan secara lebih luas ke masyarakat umum. Hasil-hasil kajian yang dilakukan lebih banyak untuk kepentingan strategi pengorganisasian dan pemberdayaan buruh dan diasumsikan punya relasi kuat terhadap perjuangan-perjuangan buruh dan masyarakat terpinggirkan lainnya, khususnya di Sumatera Utara.
Melalui penelitian pengupahan ini setidaknya PKPS sudah memulai lebih maju dalam melakukan riset-riset perburuhan, sehingga tidak lagi sekedar melakukan kajian bagi kepentingan pengorganisasian, namun juga bagi tujuan-tujuan dalam skala makro, seperti pengungkapan fakta-fakta sosial lebih luas semisal sistem pengupahan. Tujuan-tujuan seperti itu tentunya menuntut penggunaan metodologi penelitian yang lebih empirik, ataupun setidaknya sesuai dengan kaidah-kaidah yang diakui oleh lembaga pemerintah dan masyarakat akademik. Aplikasi metodologi tersebut tentunya digunakan dengan catatan-catatan tertentu. Bukan sekedar untuk memenuhi kaidah empirisme semata, namun juga tetap diboboti dengan analisis keberpihakan yang tegas terhadap buruh.
Apalagi ketika dipahami bahwasannya selama ini ilmu pengetahuan dan metodologi riset yang digunakan untuk mengungkapkan fakta atau realitas sosial sarat dengan kepentingan rejim penguasa dan menghegemoni teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal itu dapat dilihat dari perkembangan riset akademis maupun di kalangan organisasi non pemerintah yang dengan mengatasnamakan empirisme, objektivitas, dan beberapa konsep penelitian ilmiah lainnya sebenarnya melakukan pembelokan terhadap realitas yang berlangsung di masyarakat. Penggunaan metodologi ilmiah selama ini lebih cenderung bukan sebagai aktivitas memahami fakta yang sebenarnya, namun didasarkan atas kepentingan yang lebih besar, yakni bagaimana realitas sosial yang diungkap ke permukaan berkontribusi terhadap pembangunan.
Beberapa riset pengupahan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya institusi yang memiliki kewenangan terhadap perumusan dan penetapan pengupahan selama ini dianggap menggunakan azas-azas riset yang kurang lebih mengindikasikan praktek ketidakadilan dalam melihat fakta sosial. Hal itu dapat dilihat dari proses survey Dewan Pengupahan Daerah (DPD) yang banyak mereduksi realitas ekonomi yang dialami buruh sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang menyimpang jauh dari kondisi riil yang dialami buruh. Penyimpangan-penyimpangan tersebut terkesan semakin lama semakin dilegitimasi oleh pemerintah sehingga semakin mengentalkan kepentingan pemerintah dan modal.
Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) menyadari betul ketidakseimbangan yang terjadi dalam sistem pengupahan yang didukung oleh paradigma pembangunan dan ilmu pengetahuan yang sekedar melegalkan kepentingan mereka. Untuk itu jalan satu-satunya adalah dengan mengembalikan paradigma riset pada prinsip objektivisme yang tidak direduksi oleh kepentingan-kepentingan penguasa.
Melalui riset pengupahan ini diharapkan realitas kehidupan buruh dapat terungkap sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, sehingga dapat dijadikan dasar pengkritisan terhadap sistem pengupahan yang selama ini tidak adil bagi buruh. Studi terhadap sistem pengupahan yang berlaku saat ini menjadi dasar bahwasannya upah yang diterima buruh berdasarkan proses perumusan dan penetapan yang ada sudah sangat jauh dari kebutuhan hidup buruh. Hal itu dapat dilihat dari persepsi buruh tentang institusi perumus upah, dasar yang digunakan dalam penentuan upah, kebijakan yang diterapkan, dan respon buruh terhadap kebutuhan konsumsinya berdasarkan upah yang diterima.
Gambaran terhadap kondisi kehidupan buruh tersebut adalah sebuah fakta bahwasannya sistem pengupahan yang dijalankan saat ini tidak layak lagi untuk dijadikan dasar penentuan upah buruh. Tekanan ekonomi yang sudah sangat besar terhadap buruh, minimnya peran buruh dalam proses penentuan upah, kuatnya kepentingan modal dalam proses perumusan dna penentuan upah, tidak adilnya standar yang digunakan oleh pemerintah dalam perumusan upah, reduksi terhadap proses kerja institusi, dan metodologi yang digunakan adalah indikasi ketidaklayakan sistem pengupahan yang berjalan saat ini. Menyerahkan perubahan terhadap sistem pengupahan kepada pemerintah dan institusi yang terlibat tidak mungkin dilakukan karena kepentingan akan investasi, pertumbuhan dan stabilitas ekonomi selalu akan mengalahkan kepentingan buruh. Melakukan perubahan parsial dengan harapan sekedar kenaikan jumlah nominal upah juga tidak menjawab karena akan menuntun buruh kembali pada posisi terjebak pada sistem yang ada. Berdasarkan hasil penelitian ini paling tidak diperoleh pemahaman bahwasannya perubahan yang lebih adil terhadap sistem pengupahan menuntut proses yang lebih menyeluruh, menyangkut sistem ekonomi, politik ekonomi, kebijakan dan konsep dasar tentang kerja dan upah.
Akhirnya, hanya buruh yang mengetahui apa yang disebut dengan keadilan, termasuk keadilan pada sistem pengupahan. Hasil riset ini menjadi penghantar motif-motif perubahan yang harus dilakukan demi kehidupan buruh yang lebih baik.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada kawan-kawan yang sudah memulai penelitian ini, yakni Lina Sudarwaty, Henry Sitorus, yang keduanya adalah dosen di Jurusan Sosiologi FISIP USU, Sri R.M dan kawan-kawan buruh anggota SBMI, baik itu yang ada di Mabar, Binjai dan Tanjung Morawa. Keterlibatan kawan-kawan sangat menentukan penelitian ini dapat dilaksanakan, mengingat sulitnya memulai sebuah penelitian. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Direktur KPS, Sahat Lumbanraja, Berliana Siregar sebagai sekretaris, kawan-kawan CO KPS, Daniel Marbun, Mesersius Manalu, Relies Yanti, Rosmawaty, Daniel (Dolok) Sibarani, Juan Lingga dan Franky Sinaga. Dukungan juga diperoleh dari Gindo Nadapdap, Tua Tampubolon, Kiki divisi Kampanye Pembelaan, Yudi dan Sorta Gultom. Seluruh kontribusi kawan-kawan sedikit banyaknya menjadi indikasi bahwasannya kolektivitas pengerjaan penelitian ini dapat dilaksanakan.
Tim Peneliti, Maret 2006
Kesimpulan
Sistem Pengupahan yang Tidak Adil
Tujuan utama dilakukannya penelitian ini bukan sekedar memberi gambaran secara lebih luas tentang kebijakan upah, penerapan aturan upah dalam sektor industri, beserta hubunganya dengan realitas kehidupan buruh. Namun yang ingin dicapai adalah bagaimana melihat kebijakan upah yang diterapkan selama ini beserta prinsip-prinsip yang mendasarinya telah menekan dan mengkondisikan buruh tidak dapat beranjak dari kemiskinan dan lepas hisapan kaum modal.
Ada 3 (tiga) aspek yang selama ini menjadi acuan pemerintah, pemilik modal dan elit ekonomi di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia dalam mengeluarkan kebijakan pengupahan. Demikian juga dengan wilayah propinsi Sumatera Utara. Sebagai satu wilayah yang tidak bisa dipisahkan dari aturan pengupahan secara nasional, di Propinsi Sumatera Utara dan secara khusus Kota Medan, kebijakan pengupahan dan berbagai regulasi perburuhan tetap menjadi kendala bagi perbaikan nasib buruh.
Kacaunya sistem pengupahan dan minimnya aspek keadilan kebijakan pengupahan tersebut ternyata belum disoroti secara serius oleh elemen demokrasi di Indonesia. Memang sejak kebijakan upah minimum diberlakukan secara nasional, perdebatan kebijakan pengupahan tidak pernah berhenti. Namun perdebatan tersebut masih sekedar pengkritisan pelaksanaan sistem tanpa menyentuh konsep paling dasar dari pengupahan.
Perdebatan yang bermuara pada keinginan perubahan kebijakan yang selama ini berlangsung masih bersifat incremental (tambal sulam)24. Sejak kebijakan upah minimuum dijalankan, praktis sebenarnya tidak ada perubahan yang cukup mendasar dan komprehensif. Lihat saja misalnya kebijakan pergeseran kewenangan pengupahan dari pusat ke daerah, yang sebenarnya hanya merupakan konsekuensi formal dari diberlakukannya undang-undang desentralisasi atau otonomi daerah. Pergeseran kewenangan tersebut di tingkat substansial tidak merubah persoalan utama pengupahan.
Proses demokratisasi pengupahan masih dilihat secara parsial, namun masih tetap dalam ruang kebijakan yang sama. Fokus persoalan yang selama ini diasumsikan menjadi substansi pengupahan masih pada aspek konsistensi, ketaatan pemerintah dan pengusaha dalam menerapkan kebijakan perburuhan, termasuk aturan pengupahan, redefinisi konsep dasar upah, maupun pada level peran institusi stakeholder pengupahan. Tuntutan yang diusung oleh elemen pergerakan buruh masih pada seputar tekanan kepada pemerintah dan pengusaha untuk menjalankan aturan pengupahan tanpa melihat sisi fundamen politik ekonomi yang mendasari berbagai kebijakan upah buruh.
Contoh paling jelas dalam melihat periferal-nya elemen perburuhan dalam persoalan pengupahan adalah yang diungkapkan oleh ILO (International Labour Organization). Laporan organisasi buruh internasional tersebut cenderung melihat persoalan pengupahan pada level marginal. Ada sebelas konklusi yang telah mereka peroleh dalam memandang sistem pengupahan di Indonesia.
1. Rendahnya secara relatif jumlah upah pada berbagai jenis pekerjaan, dan turunnya upah riil berdasarkan kenaikan harga pasar kebutuhan.
2. Lemahnya kemampuan/kekuatan tawar serikat buruh
3. Ketidakakuratan dan inkonsistensi proses koleksi data dalam menyusun jumlah kebutuhan fisik minimum (sekarang kebutuhan hidup minimum) sebagai dasar kebijakan upah minimum
4. Jenjang atau rasio yang terlalu jauh antara level upah tertinggi dan upah minimum
5. Tidak adanya sumberdayamanusia, atau staf yang bekerja secara penuh pada komisi pengupahan nasional dan propinsi dan rendahnya pemahaman, kemampuan teknis tentang administrasi pengupahan
6. Di tingkat pabrik, kenaikan upah belum sepenuhnya dipengaruhi oleh peningkatan produktivitas
7. Regulasi pengupahan yang diberlakukan masih menggunakan standar umum yang dijalankan oleh perusahaan
8. Terlalu banyaknya regulasi pengupahan yang pelaksanaannya tidak transparan
9. Kegagalan beberapa pemberi kerja untuk menerapkan berbagai aturan dan regulasi pengupahan, dan juga rendahnya penegakan hukum pengupahan
10. Banyaknya perusahaan yang tidak memiliki skema strata dan struktur penggajian yang komprehensif
11. Tidak dijalankannya evaluasi kerja (job evaluation) di perusahaan-perusahaan besar.25
Identifikasi persoalan pengupahan tersebut sebenarnya riil dihadapi oleh buruh. Demikian juga dengan berbagai analisis teoritik yang digunakan dalam memahami dan mengkritik sistem pengupahan. Ada beberapa kerangka teoritik yang sering digunakan, antara lain; kerangka teoritik pertama adalah yang mempertimbangan sisi permintaan tenaga kerja sebagai dasar penentuan tingkat upah sektor industri. Sisi permintaan menekankan berbagai aspek kompetisi, motif maupun tekanan ekonomi yang mempengaruhi tingkat upah. Tidak ada pertimbangan lain dalam prinsip seperti ini. Sistem permintaan tenaga kerja menawarkan satu konsep yang melulu berdasarkan pertimbangan ekonomi semata. Jika demikian, maka buruh atau pekerja dianggap sebagai salah satu komponen biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha dalam melakukan proses produksi. Dengan demikian, kemampuan pengusaha untuk memproduksi suatu barang tergantung dari kemampuannya menyediakan modal dan membeli tenaga kerja dalam kuantitas tertentu. Jika dalam waktu tertentu dan nilai atau harga dari suatu produk tertentu pengusaha hanya mampu memperkerjakan sejumlah tenaga kerja atau buruh, maka tingkat upah yang diberikan kepada buruh adalah sebesar hasil pengurangan hasil penjualan produk dalam volume tertentu dengan modal yang dikeluarkan.
Aspek kedua adalah pertimbangan penawaran tenaga. Jika pada sisi permintaan dasar pertimbangan utamanya adalah kompetisi, tekanan dan motif ekonomi, maka pada sisi penawaran tenaga kerja, tekanan diletakkan pada aspek kualitas sumberdaya manusia. Pada sisi ini, tingkat upah lebih ditentukan oleh tingkat pendidikan, pengalaman kerja, keahlian kerja dan berbagai pertimbangan lainnya.
Aspek ketiga yang menjadi saat sekarang ini menjadi acuan di banyak negara adalah adalah intervensi dari pemerintah dan serikat buruh. Dikarenakan tidak terjadinya kesempurnaan pasar dalam menentukan tingkat upah, maka perlu ada konsep penyangga sehingga kepentingan buruh tidak selalu dikalahkan oleh ketidakpastian pasar. Konsep ketiga inilah yang menawarkan adanya jaring pengaman (safety net) dalam kebijakan upah buruh. Melepaskan jumlah upah buruh berdasarkan mekanisme pasar dianggap tidak sangat manusiawi, sehingga perlu ditetapkan satu jumlah minimal agar buruh dapat sekedar hidup dan bekerja.
Dalam perspektif ekonomi klasik dapat kita telusuri konsep upah minimum tersebut dari tawaran David Ricardo. Sebagai salah satu peletak dasar ekonomi klasik, Ricardo mengusulkan adanya tingkat upah tertentu sebagai imbal jasa bagi tenaga kerja. Imbalan tersebut hanya sekedar buruh dapat mempertahankan dan melanjutkan kehidupan. Dalam teori upah yang ditawarkan oleh Ricardo, tingkat upah yang diterapkan merupakan harga keseimbangan tenaga kerja. Memang tidak selamanya jumlah upah akan tetap, namun dikarenakan adanya akumulasi modal, kemajuan teknologi dan tekanan ekonomi lainnya, jumlah upah tersebut akan turun naik.
Berdasarkan realitas upah yang dialami oleh buruh maupun kebijakan pengupahan yang dimunculkan oleh pemerintah, jelas landasan teori dan fundamen yang mendasari kebijakan upah masih sangat kental dengan kepentingan pengusaha. Secara terbuka pemerintah lebih menyetujui tingkat upah ditentukan oleh mekanisme pasar. Tetapi dalam mekanisme pasar, tidak ada kepastian tentang jumlah upah bagi buruh. Tingkat upah lebih ditentukan oleh hitung-hitungan biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha dalam satu proses produksi, kompetisi antar perusahaan, jumlah permintaan dan penawaran tenaga kerja dan kepentingan pertumbuhan ekonomi dari pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh Adam Smith ada dua atau tiga bagian nilai yang dihasilkan buruh, yakni upah untuk buruh, keuntungan untuk pengusaha yang menyediakan modal dan membeli bahan mentah, serta uang sewa untuk pemilik tanah. Dalam tatanan yang lebih modern, pembagian dari Adam Smith tersebut sudah tidak sesuai lagi. Smith tidak memasukkan faktor negara atau pemerintah sebagai salah satu komponen yang turut menerima keuntungan dari sistem ekonomi kapitalistik yang dibangun.
Sebagai komponen regulator bidang ekonomi, peran pemerintah sudah sedemikian besar terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga berbagai kebijakan ekonomi maupun secara khusus kebijakan sektor industri dan perburuhan adalah yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Apalagi ketika muncul kebijakan desentralisasi kewenangan pemerintahan melalui Undang-Undang otonomi Daerah. Salah satu aspek yang turut terpengaruh oleh kebijakan tersebut adalah dalam hal kebijakan pengupahan.
Proses penetapan kebijakan upah yang sebelumnya ditentukan oleh pemerintah pusat melalui Menteri Tenaga Kerja sudah mulai didistribusikan kepada kepala daerah, yakni Gubernur dalam menentukan UMP (Upah Minimum Propinsi), Bupati/Walikota yang merumuskan dan menentukan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota). Prinsip pergeseran kewenangan yang sebenarnya bertujuan agar unsur lokalitas lebih dipertimbangan dalam proses perumusan dan penetapan upah ternyata tidaklah signifikan sama sekali dalam menaikkan upah buruh, apalagi meningkatkan kesejahteraan buruh secara umum.
Ada beberapa aras proses perumusan dan penetapan upah buruh yang masih timpang dalam sistem yang berlangsung saat ini.
1. Pada proses penentuan komponen yang dilibatkan dalam Dewan Pengupahan Daerah (DPD,
Pada tahapan survey dan penelitian kondisi kebutuhan buruh yang didasarkan kondisi pasar harga
Dasar kebutuhan hidup buruh yang masih sebatas Kebutuhan Hidup Minimum
Pada tahapan analisis dan diskusi informasi hasil survey,
pada proses pengambilan keputusan jumlah upah, dan
pada proses sosialisasi kebijakan jumlah upah UMP
Terlihat bahwasannya dalam setiap tahapan perumusan dan penetapan upah, secara institisional, DPD dengan Gubernur telah cacat. Hal itu tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh seorang mantan anggota DPD yang berasal dari komponen serikat buruh. Pada tahapan survey dan penelitian terdapat indikasi beberapa anggota dalam DPD tidak melakukan hal yang sebagaimana mestinya. Walaupun sulit untuk dibuktikan, namun dari setiap hasil survey dan penelitian, data yang ditemukan selalu sangat berbeda dengan data atau informasi yang diperoleh oleh komponen DPD dari Serikat Buruh.
Selain keenam keganjilan tersebut, satu hal yang kurang mendukung proses perumusan dan penetapan upah adalah ketiadaan dana. Secara formal, alokasi dana yang secara khusus membiayai proses perumusan dan penetapan upah oleh institusi DPD sangatlah minim. Padahal, dilihat dari tanggungjawab, proses kerja dan efek dari kerja yang dilakukan oleh DPD sangatlah besar. Kondisi tersebutlah yang diasumsikan menyebabkan kerja-kerja yang dilakukan DPD secara institusional tidak efektif. Secara personal, input materi yang diberikan kepada anggota DPD hanya pada saat diskusi dan rapat perumusan. Belum lagi jika dikaitkan dengan dana yang diberikan dalam setiap proses survey dan penelitian yang sampai saat ini belum jelas sama sekali. Pemerintah propinsi yang sebenarnya paling bertanggungjawab terhadap kinerja DPD tidak memiliki format khusus dalam hal pembiayaan. Sampai saat ini tidak ada alokasi yang jelas dan cukup besar dalam membiayai kerja-kerja DPD, padahal efek yang ditimbulkan dari institusi ini membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi ekonomi Sumatera Utara dan kesejahteraan buruh.
Sistem pengupahan yang diberlakukan di Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia sampai saat ini memang sangat tidak jelas. Di mata buruh, sistem pengupahan yang berjalan masih sangat kabur. Pada beberapa sisi, seperti pengetahuan tentang komponen, begaimana proses perumusan dan penetapan berjalan, institusi yang berperan, jumlah upah yang ditetapkan maupun aspek informasi dari kebijakan upah masih sangat kurang dipahami oleh buruh. Hal itulah yang mendorong persepsi buruh terhadap sistem kebijakan upah yang dijalankan dirasakan masih sangat jauh dari kepentingan dan kebutuhan buruh.
Keterlibatan buruh dalam sistem yang dijalankan juga masih sangat rendah. Prinsip keterwakilan berimbang dalam komponen DPD terbukti tidak signifikan dalam memperbesar pengaruh serikat buruh dalam proses perumusan dan penetapan UMP. Pengaruh komponen lain, seperti pengusaha, pemerintah dan kaum pakar dari institusi akademik masih memarjinalisasi kepentinga dan kebutuhan buruh. Walaupun ada juga buruh yang beranggapan bahwa keterlibatan buruh dalam sistem kebijakan upah tidak diperlukan, namun hal itu lebih disebabkan oleh pengalaman negatif pada masa lalu. Selama kebijakan pengupahan dijalankan, jumlah upah yang ditetapkan tidak pernah sesuai dengan kebutuhan buruh. Kenaikan upah tidak pernah menyentuh jumlah yang diinginkan oleh buruh. Hal itu dapat dilihat dari kenaikan jumlah UMP yang selalu jauh lebih rendah dari kenaikan riil pengeluaran buruh. Hal itulah yang menjadi pendorong beberapa buruh memiliki persepsi negatif terhadap keterlibatan buruh dalam proses perumusan dan penetapan UMP pada institusi DPD. Keterlibatan buruh dalam DPD dianggap tidak ada guna, buruh tidak memiliki kapasitas untuk membahas upah dan proses penetapan upah bukan dianggap tugas dari buruh.
Bagi yang masih menganggap keterlibatan buruh sangat penting dalam proses perumusan dan penetapan upah, keterlibatan tersebut harus pada setiap tahapan proses. Selain agar semakin besarnya kepentingan buruh dapat terakomodir dalam proses tersebut, buruh menganggap mekanisme yang berjalan masih penuh kecurangan. Praktek KKN, tidak benarnya proses penelitian, dan adanya kompromi antar pihak yang terlibat dalam DPD menjadi beberapa faktor yang mendorong elemen buruh untuk terlibat lebih dalam dalam proses perumusan dan penetapan jumlah UMP.
Satu hal yang patut dicatat dari hasil penelitian ini adalah, persepsi buruh terhadap kemampuan upah dalam memenuhi kebutuhan hidup buruh cukup lemah. Semakin kebutuhan mengarah kepada hal-hal yang lebih pada kebutuhan sosial, maka kemampuan buruh untuk membiayainya semakin sulit. Untuk kebutuhan akan makan keluarga, sebahagian besar buruh terlihat masih mampu. Namun jika sudah mengarah pada kebutuhan membiayai kebutuhan sosial dan rekreasi, maka kemampuan buruh semakin lemah.
Jika dibandingkan dengan pendapatan yang diterima buruh dari hasil kerja di pabrik, terlihat sangatlah timpang dengan pengeluaran yang harus dibiayai oleh buruh dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rata-rata pengeluaran buruh laki-laki maupun perempuan memang tidak terlalu jauh dari jumlah upah yang diterima dalam satu bulan. Jika hanya didasarkan pada fakta tersebut tentunya tingkat kesulitan pemenuhan kebutuhan buruh menjadi lebih rendah. Namun jika dilihat dari komponen pengeluaran buruh, terlihat sangat minim dibandingkan dengan kebutuhan satu orang secara layak. Volume makan, jenis barang konsumsi yang dibeli sangat minim sehingga wajar jika pengeluaran buruh tidak terlalu besar. Namun jika dikomparasikan pada buruh lainnya yang berusaha untuk hidup lebih layak, maka apa yang dikonsumsi, frekuensi makan, jenis makanan yang dikonsumsi terlihat sangat tidak masuk akal. Hal itu salah satunya diakibatkan oleh adanya strategi buruh untuk tetap bertahan hidup. Dengan kondisi upah yang sangat minim, buruh dipaksa untuk mengurangi pengeluaran. Dari sisi volume dan kualitas, apa yang dikonsumsi oleh buruh sangat jauh dari kebutuhan hidup manusia secara normal.
Dari beberapa komponen, pengeluaran buruh terbesar adalah untuk konsumsi.Sebahagian besar pengeluaran konsumsi dibeli oleh buruh. Hal itu terlihat dari konsumsi buruh akan susu, daging dan buah-buahan. Beban kerja yang sangat berat tentunya membutuhkan kalori yang cukup besar. Rata-rata buruh sangat jarang mengkonsumsi sumber makanan yang berkalori dan bervitamin tinggi seperti susu, daging dan buah-buahan. Tentunya hal ini akan sangat mengganggu kesehatan buruh dalam jangka waktu lama. Kemampuan buruh yang sangat rendah untuk mengkonsumsi makanan ataupun minuman yang berkualitas baik tidak didukung oleh supplay suplemen makanan dari perusahaan. Dari beberapa jenis lauk yang umum dikonsumsi, rata-rata frekuensi hanya kurang dari 4 kali dalam satu bulan. Bisa dibayangkan jika dalam satu bulan buruh hanya makan daging 1 atau 2 kali dalam satu bulan. Satu-satunya jenis lauk yang mampu dibeli dan dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup tinggi hanyalah ikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan, variasi jenis lauk yang dikonsumsi oleh buruh sangatlah rendah. Dari seluruh jenis lauk, yang paling sering dikonsumsi oleh buruh adalah yang berharga murah, seperti indomie, tempe, tahu dan telur. Ada berbagai alasan yang dikemukakan buruh tentang kondisi tersebut. Salah satunya adalah, makanan seperti itu yang cukup tersedia di sekitar permukiman buruh sekaligus cukup murah dibandingkan jenis lauk lain.
Pada sisi pendapatan, rata-rata buruh sudah menerima sesuai dengan UMP. Data seperti ini tentunya dapat menjadi bumerang bagi buruh. Jika ukurannya adalah kebutuhan hidup minimum, maka kebijakan standar upah minimum (UMP) sudah sudah tercapai. Namun jika ukurannya adalah kelayakan hidup buruh, maka sama sekali pendapatan tersebut masih sangat timpang. Apalagi jika dilihat dari beberapa komponen upah yang umum diterima oleh buruh. Dari keseluruhan komponen upah, hanya komponen upah pokok yang rutin diberikan kepada buruh tetap. Tentang komponen upah lainnya, ternyata hanya sebahagian kecil yang merasa dipenuhi. Kondisi buruh kontrak, buruh harian lepas dan borongan lebih parah lagi. Sebahagian besar komponen upah tidak diterima oleh buruh non tetap. Hal ini menunjukkan, status buruh memang sangat mempengaruhi pendapatan buruh. Bukan hanya dari sisi ketidakpastian status, namun juga pada sisi pemenuhan hak normatif buruh. Padahal, saat ini proses peralihan status dari buruh tetap menjadi buruh kontrak atau borongan semakin tinggi. Undang-undang yang mengatur perlindungan hak buruh kontrak dan borongan terbukti tidak efektif.
Upah minimum yang selalu diperbaharui setiap tahunnya ternyata sama sekali tidak mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi oleh buruh. Jumlah upah yang merangkak naik masih jauh dari kebutuhan hidup buruh untuk hidup layak. Berbagai kebutuhan buruh yang sebenarnya layak untuk dipenuhi masih jauh dari harapan. Ketika dikomparasikan dengan kondisi saat ini, maka upah minimum sama sekali tidak akan mampu memenuhi kebutuhan buruh. Untuk itu, berbagai aspek yang terkait dengan sistem pengupahan harus mengalami perubahan.
Berbagai kajian dan analisis tentang pengupahan sudah banyak dilakukan, baik itu oleh elemen gerakan perburuhan, organisasi non pemerintah, akademisi perguruan tinggi, serikat buruh maupun lembaga perburuhan internasional. Kajian yang dilakukan oleh berbagai institusi tersebut kebanyakan mengacu pada sisi normatif dari kebijakan pengupahan. Demikian juga dengan upaya-upaya perlawanan buruh serta serikat buruh tentang upah.
Sejak kebijakan upah minimum diberlakukan, boleh dikatakan intensitas perlawanan buruh dengan mengusung isu upah semakin tinggi. Sebagai sebuah kebijakan jaring pengaman, upah minimum belum dilaksanakan secara maksimal. Pemberlakuan upah minimum kemudian membongkar praktek-praktek curang dalam pengupahan di tingkat perusahaan. Setiap tahunnya, bermunculan kasus-kasus pengupahan secara nasional maupun di tingkat lokal, dan hal ini menjadi indikasi bahwasannya persoalan upah menjadi isu penting, selain kasus perburuhan lainnya.
Mengapa isu pengupahan selalu muncul dalam dinamika perburuhan pada intensitas frekuensi yang sangat tinggi? Padahal, jika dilihat dari regulasi yang dikeluarkan legislatif dan pemerintah, tema-tema pengupahan menjadi priorotas yang cukup besar. Sejak awal orde baru berkuasa sampai saat ini, belasan aturan sudah dikeluarkan, namun tampaknya kontribusi regulasi tersebut terhadap kesejahteraan buruh masih sangat jauh.
Beberapa kajian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwasannya kekacauan persoalan pengupahan di Indonesia dilatarbelakangi oleh satu konsep yakni kebijakan ketentuan upah minimum. Setidaknya kesimpulan seperti itulah yang sering dikemukakan oleh kalangan reformis perburuhan. Mulai kebijakan tersebut diterapkan sampai saat ini, output pemberlakukan upah minimum tersebut tidak membawa kesejahteraan bagi buruh.
Seperti yang sudah disebutkan dalam bab-bab sebelumnya, upah minimum merupakan sebuah jaring pengaman (safety net) bagi buruh dari kesewenangan pengusaha. Ketentuan upah minimum tersebut muncul ketika mekanisme pasar permintaan dan penawaran tenaga kerja maupun sistem ekonomi pasar tidak mampu melindungi buruh dalam sektor industri.
Indonesia sebagai sebuah negara yang tengah merangkak menuju sistem ekonomi berbasis industri juga mengalami hal yang sama. Situasi tersebut terutama dialami pada masa-masa awal pemerintahan orde baru. Target pertumbuhan ekonomi yang berusaha dicapai dengan penciptaaan stabilitas ekonomi, politik dan peningkatan jumlah investasi kurang memperhatikan nasib buruh. Program-program pembangunan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan orde baru terlalu memihak pada kepentingan pengusaha dan investor, tanpa mempertimbangkan penghisapan dan kesewenangan perusahaan terhadap buruh.
Menjelang akhir tahun 1980-an, barulah intervensi pemerintah dalam bidang pengupahan mulai diterapkan secara serius. Hal itu salah satunya disebabkan oleh tekanan dari berbagai elemen perburuhan dalam maupun luar negeri yang khawatir dan prihatin dengan kondisi ekonomi maupun perburuhan di Indonesia. Salah satunya adalah dilatarbelakangi oleh prasyarat dari beberapa negara importir produk manufaktur, yakni Amerika Serikat yang menghendaki perubahan kondisi ketenagakerjaan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal itulah kemudian yang mendorong pemerintah Indonesia harus menata kondisi ketenagakerjaan nasional agar produk non migas diterima di negara-negara importir26.
Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka menata sistem ketenagakerjaan di Indonesia adalah mengenai upah minimum (UM). Tekanan dari negara-negara tujuan ekspor produk manufaktur Indonesia mendorong pemerintah untuk mengurangi dampak eksploitasi modal terhadap buruh.
Kebijakan upah minimum tersebut mulai diterapkan secara serius oleh pemerintah mulai tahun 1989, yakni setelah keluarnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 05/Men/1989 tentang ketentuan upah minimum. Peraturan tersebut adalah bertujuan menetapkan upah terendah yang boleh diberikan pengusaha kepada buruhnya27. Setelah dilaksanakan selama hampir sepuluh tahun, kemudian aturan upah minimum tersebut diperbaiki kembali melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Ri No. Per-01/Men/1999 yang merupakan penyempurnaan dari kebijakan sebelumnya.
Selama itu pula beberapa aturan pelaksana upah minimum dikeluarkan oleh pemerintah, termasuk pembentukan institusi yang berwenang dalam merumuskan dan menetapkan jumlah upah minimum, salah satunya adalah surat Dirjen BINAWAS No. B.16/BW/2001 tentang Dewan Pengupahan Daerah (DEPEDA/DPD). Namun pelaksana kebijakan upah minimum tersebut tetap saja belum memenuhi rasa keadilan bagi buruh, khususnya tentang keterwakilan buruh dalam lembaga DPD tersebut.
Ada banyak sebenarnya persoalan yang muncul sebagai dampak dari pemberlakuan kebijakan upah minimum tersebut. Selain secara institusional belum memenuhi aspek keadilan, tidak konsistennya kontrol yang dilakukan pemerintah, lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan upah minimum maupun persoalan-persoalan di tingkat pelaksanaan, konsekuensi paling besar sebenarnya terletak pada stagnasi nilai upah buruh dan eksploitasi sistematis terhadap buruh.
Selain sebagai jaring pengaman, ada satu landasan penerapan upah minimum yang sampai saat ini sulit untuk dimengerti. Secara teoritik, tingkat upah ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran tenaga, dan juga beberapa variabel lainnya. Upah minimum merupakan jalan tengah ketika mekanisme pasar telah gagal menjaga stabilitas tingkat upah sesuai dengan kebutuhan dan produktivitas buruh. Beberapa studi empirik menyatakan, jika upah minimum berada di atas tingkat upah keseimbangan pasar, maka efeknya akan mengurangi tingkat permintaan tenaga kerja dan kemudian memperbesar angka pengangguran[1] Teori seperti inilah yang banyak dijadikan pedoman negara-negara di dunia maju dan berkembang dalam menangani persoalan upah. Dengan pedoman seperti itu maka pemerintah di negara berkembang, termasuk Indonesia kemudian menjalankan kebijakan upah minimum.
Pada satu sisi, memang kebijakan seperti itu mampu menyelamatkan iklim investasi di negara berkembang. Dengan tingkat upah yang rendah dan berada di bawah upah keseimbangan pasar, maka akan menjadi daya tarik bagi pemodal. Hal itu juga dapat menolong pemodal domestik yang berusaha berkembang dengan kemampuan investasi dan finansial yang terbatas. Pada satu fase memang kebijakan upah minimum memang menguntungkan. Selain bisa menarik investor, juga menolong pemodal domestik yang masih lemah. Namun ternyata pada fase selanjutnya, ketika pertumbuhan ekonomi sudah cukup baik, kontribusi pemodal nasional terhadap pertumbuhan ekonomi sudah memadai, kebijakan upah minimum sebenarnya sudah sangat tidak layak untuk diterapkan.
Ada beberapa alasan yang menjadi landasan ketidaklayakan kebijakan upah minimum untuk diterapkan lagi. Pertama, kebijakan upah minimum sering dijadikan alasan oleh pemerintah untuk enggan menaikkan tingkat upah sesuai dengan kebutuhan dan produktivitas buruh. Sejak upah minimum diberlakukan secara merata tahun 1989 sampai saat ini, tidak satupun tahapan kenaikan upah yang mampu mengejar tingkat inflasi dan kenaikan kebutuhan hidup buruh secara layak. Walaupun ada beberapa fase, yakni tahun 1990, 1994 dan 2000 dimana kenaikan upah minimum riil pernah mencapai lebih dari 50%,[2] namun tetap saja belum dibarengi dengan peningkatan daya beli buruh terhadap beberapa kebutuhan hidup.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pemerintah selalu berpedoman pada aspek teoritik dalam masalah pengupahan. Kenaikan upah secara terus menerus dianggap akan memperbesar beban pengusaha sehingga nantinya memperkecil jumlah penyerapan tenaga kerja, yang akhirnya mempertinggi angka pengangguran. Padahal teori seperti ini juga masih harus dipertanyakan lagi. Lihat saja penilaian dari beberapa lembaga riset ekonomi internasional. Walaupun tingkat upah di Indonesia secara nominal tergolong rendah, namun sama sekali tidak menjadikan negara ini sebagai tujuan investasi penting bagi investor30
Kedua, kebijakan upah minimum sendiri sebenarnya mengingkari sistem pengupahan alternatif yang lebih berkeadilan. Konsep upah minimum sendiri sebenarnya sudah lama ditinggalkan oleh negara-negara berkembang lain, khususnya di kawasan asia tenggara. Secara empirik, upah minimum yang diberlakukan di Indonesia bertolakbelakang dengan dinamika ekonomi yang sedang berjalan. Walau pernyataan tersebut berasal dari perspektif ekonomi pasar, namun hal ini menjadi indikasi betapa terbelakangnya Indonesia dalam hal sistem pengupahan. Jika memang prinsip upah keseimbangan pasar diterapkan secara murni, upah minimum yang diberlakukan saat ini sudah sangat kecil dibandingkan upah yang ditentukan oleh pasar31.
Ketiga, upah minimum telah dijadikan indikator utama bagi upah buruh sektor formal. Hal ini tentunya berbahaya bagi penciptaan sebuah sistem pengupahan yang lebih adil bagi buruh. Menjadikan upah minimum sebagai indikator upah telah merembet ke berbagai konsep-konsep lainnya, seperti kesejahteraan, keadilan, stabilitas ekonomi, politik sampai pada persoalan kemanusiaan.
Melebarnya pemaknaan upah minimum tersebut tentunya telah mereduksi banyak hal. Menyamakan upah minimum dengan kesejahteraan buruh, pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial merupakan praktek pembodohan terhadap buruh. Lihat saja beberapa perdebatan setiap tahunnya tentang upah minimum antara elemen buruh dengan institusi pengupahan bersama dengan pemerintah. Polemik yang berlangsung tentang pengupahan masih sekedar pada nominal upah semata, tanpa melihat aspek yang lebih mendasar dan pada skala yang lebih luas. Padahal, dari sisi standar yang digunakan, institusi yang terlibat dalam proses perumusan dan kriteria-kriteria yang digunakan sudah menyalah.
Setiap tahun, hanya satu sisi yang selalu menjadi topik pengupahan, yakni mengenai jumlah upah minimum yang akan diberlakukan untuk satu tahun ke depan. Pihak pemerintah dan pengusaha selalu bertahan dengan jumlah kenaikan serendah mungkin berdasarkan hasil survey pasar, indeks harga konsumen, tingkat inflasi, kondisi investasi dan pertumbuhan ekonomi maupun berbagai variabel lainnya, sedangkan elemen buruh menginginkan kenaikan upah lebih besar dari hasil survey dan perumusan institusi pengupahan.
Walaupun dalam jangka pendek perdebatan tersebut bermanfaat, namun sebenarnya telah menjebak buruh dalam persoalan yang tidak substansial. Padahal jika dilihat dari perdebatan yang ada, argumentasi, landasan teoritik maupun bukti empirik yang diajukan oleh pemerintah dan pengusaha masih perlu diuji kebenarannya. Misalnya saja tentang alasan akan adanya pengurangan permintaan tenaga kerja akibat kenaikan upah minimum. Memang ada hasil kajian yang menunjukkan adanya korelasi kenaikan upah minimum terhadap pengurangan permintaan tenaga kerja. Menurut penelitian dari SMERU32, yang menyatakan setiap kenaikan upah minimum riil akan menyebabkan berkurangnya lapangan kerja di sektor formal perkotaan sebesar 2%, lepangan kerja bagi buruh perempuan dan pekerja berusia muda sebesar 6% dan lapangan kerja bagi unskilled workers sebesar 4%, namun tetap saja masih bisa dipertanyakan. Salah satunya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Islam dan Nazara tahun 200033. Hasil penelitian yang mereka lakukan membuktikan sebenarnya tidaklah ada hubungan antara kenaikan upah dengan berkurangnya penyerapan tenaga kerja. Penelitian tersebut juga menyatakan, bahwa keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan skala menengah dan besar sebenarnya tidak berkurang akibat kenaikan upah minimum. Dan secara nasional, jika terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar 4%, maka akan dapat meningkatkan upah minimum sebesar 24% per tahun. Kenaikan ini pada kenyataannya tidak akan berpengaruh terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja.
Perbedaan pandangan dan bukti empirik seperti inilah yang membuat setiap proses perumusan dan penetapan upah minimum selalu menimbulkan polemik. Namun tetap saja, korban pertama dari polemik tersebut adalah buruh. Keterbatasan data dari serikat buruh, lemahnya argumentasi empirik tentang pengupahan menjadikan elemen buruh terpinggirkan dalam setiap proses perumusan dan penentuan upah. Hal ini berkaitan dengan alasan keempat.
Secara institusional dan di tingkat regulasi, stakeholder pengupahan memang tidak punya kompetensi yang mencukupi untuk membahas sesuatu yang menyangkut kelangsungan hidup buruh. Ambil contoh tentang keberadaan Dewan Pengupahan Daerah (DPD/Depeda). Lembaga ini sebenarnya memiliki kewenangan yang cukup besar dalam merumuskan dan menetapkan jumlah upah minimum di tingkat propinsi maupun di kabupaten/kota. Namun kewenangan tersebut tidak dilanjutkan dengan kewenangan memutuskan besaran upah yang melalui proses survey tersebut.
Dewan Pengupahan Daerah (DPD) merupakan institusi perumus besaran upah untuk kemudian merekomendasikannya ke kepala daerah propinsi dan kabupaten/kota. Sesuai dengan Surat Dierjen Binawas No.B 16/BW/2001 tanggal 30 April 2001 ditegaskan, bahwa dari sisi keanggotaan, Dewan Pengupahan Daerah (DPD) terdiri dari unsur tripartit plus dengan komposisi 1:1:1 ditambah unsur dari perguruan tinggi, sedangkan keterlibatan serikat buruh/pekerja diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep.201/MEN/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang keterwakilan dalam kelembagaan hubungan industrial34.
Sebagai sebuah institusi pengupahan yang memiliki kewenangan cukup besar di bidang pengupahan, kontribusi DPD untuk menaikkan besaran upah sebenarnya sangat diharapkan. Namun diakibatkan lemahnya posisi tawar buruh, besarnya kepentingan pengusaha, kolaborasi beberapa komponen dalam menekan komponen buruh, korporatisme dalam beberapa serikat buruh, proses perumusan maupun mekanisme pengambilan keputusan yang tidak demokratis membuat lembaga ini hanya menjadi alat bagi pengusaha untuk melegitimasi kepentingan mereka atas upah murah.
Seperti yang ditunjukkan dari penelitian Popon Anarita dan Resmi Setia tentang dewan pengupahan propinsi Jawa Barat. Secara umum ada 5 sisi yang harus disoroti mengenai Dewan Pengupahan Daerah di propinsi Jawa Barat, dan mungkin juga menjadi titik lemah DPD secara nasional.
Pertama, tidak adanya transparansi dan kriteria yang baku dalam proses pemilihan unsur DPD. Selama ini proses pembentukan DPD sangat tidak transparan, khususnya dalam menentukan unsur yang terlibat dalam DPD. Disnaker sebagai pihak yang pertama kali menyusun keanggotaan DPD tidak pernah memberikan informasi tentang pertimbangan untuk mengundang komponen yang terlibat dalam DPD, sehingga memungkinkan unsur yang diundang untuk mengutus orang-orang yang kurang berkompeten dalam masalah pengupahan.
Kedua, terdapat beberapa komponen yang sebenarnya tidak relevan untuk dilibatkan, namun tetap diundang dan dimasukkan dalam DPD. Komponen yang kurang relevan tersebut biasanya berasal dari pemerintah. Misalnya saja seperti yang terjadi di Propinsi Jawa Barat. Dinas perkebunan yang tidak berurusan dan mengatur masalah perburuhan dipaksakan untuk masuk dalam institusi DPD. Jelas keberadaan komponen yang tidak relevan untuk dilibatkan tersebut patut dicurigai, karena terlihat sekedar memperkuat posisi pemerintah dalam proses perumusan upah.
Ketiga, proses survey yang tidak optimal. Mulai dari fase persiapan survey, penyusunan komponen kebutuhan yang akan di survey, peran unsur tripartit dalam proses survey, pelaksanaan survey, maupun kualitas data yang diperoleh dipenuhi kecurangan dan rekayasa. Misalnya saja, dalam proses survey, sudah menjadi kebiasaan DPD untuk melakukan survey di lokasi pasar yang jumlahnya lebih sedikit dari jumlah lokasi pasar yang direncanakan.
Keempat, Netralitas yang berpihak dari unsur perguruan tinggi. Salah satu pertimbangan mengapa komposisi DPD adalah tripartit plus adalah guna memenuhi aspek netralitas, dan unsur yang dipilih adalah dari perguruan tinggi. Namun dalam banyak kasus, unsur perguruan tinggi yang sebenarnya harus berdiri pada posisi netral ternyata lebih berpihak kepada pengusaha dan pemerintah. Kapabilitas yang dimiliki unsur perguruan tinggi ternyata tidak dimanfaatkan untuk menengahi perbedaan antara unsur tripartit, namun malah digunakan untuk mendukung salah satu unsur, yakni pengusaha dan atau pemerintah.
Kelima, ketiadaan aliansi dan koordinasi antar komponen serikat buruh. Keterlibatan beberapa serikat buruh dalam proses perumusan dan penetapan besaran upah di tingkat daerah ternyata tidak diikuti dengan peningkatan peran. Dari sisi komposisi, kekuatan buruh sendiri sebenarnya sudah lemah jika pemerintah dan pengusaha berkolaborasi. Lemahnya posisi serikat buruh tersebut ternyata semakin diperparah dengan adanya perbedaan sikap, sehingga membatasi kemungkinan koordinasi dan aliansi untuk melawan tekanan pemerintah, pengusaha dan unsur dari perguruan tinggi.
Keenam, seringnya mekanisme voting dilakukan dalam pengambilan keputusan. Perdebatan dalam institusi DPD dalam merumuskan besaran upah biasanya sangatlah sengit, terutama antara serikat buruh dengan pengusaha. perdebatan tersebut biasanya berakhir dengan ketiadaan kesepakatan. Seringkali, dikarenakan mengejar target waktu dan efektivitas kerja, DPD menggunakan voting dalam mengambil keputusan. Walaupun memenuhi aspek demokrasi, namun jelas mekanisme seperti ini mengingkari tahapan-tahapan sebelumnya. Dengan demikian, jika mekanisme voting selalu dilakukan, maka proses penetapan upah minimum bukan lagi merupakan perumusan dan penetapan besaran upah yang didasarkan kondisi objektif kebutuhan buruh, namun sudah berubah menjadi pertarungan kekuatan dari berbegai kepentingan pengupahan.
Langkah Ke Depan Menuju Sistem Pengupahan yang Lebih Adil
Melihat kondisi pengupahan yang dijalankan oleh pemerintah saat ini, kecil kemungkinan kesejahteraan buruh akan terangkat. Jika memang demikian, sistem pengupahan seperti apakah yang paling tepat untuk diterapkan, sekaligus realistis dijalankan berdasarkan sistem ekonomi nasional dan internasional yang berlangsung saat ini?
Memang tidak mudah untuk memunculkan sistem pengupahan alternatif di negara ini. Upaya seperti itu akan semakin sulit ketika sistem ekonomi nasional dan global memang tidak memberi peluang lahirnya sistem ekonomi dan pengupahan yang lebih berkeadilan. Apalagi jika dilihat posisi kaum buruh yang semakin lama semakin tidak diuntungkan.
Lihat saja misalnya upaya-upaya kaum modal dan pengusaha dunia, baik itu institusi keuangan internasional maupun perusahaan multi dan transnasional. Mereka berupaya membangun sistem ekonomi liberal yang sangat tidak berpihak kepada kaum buruh. Dengan berbagai strategi ekonomi maupun politik yang mereka jalankan, ada upaya menyingkirkan peran-peran negara dalam kesejahteraan rakyat, untuk kemudian membentuk sistem ekonomi pasar yang terlepas sama sekali dari intervensi pemerintah.
Gejala seperti ini menjadi kendala serius dalam upaya membangun sebuah tatanan masyarakat yang lebih sejahtera, salah satunya dengan menciptakan satu sistem pengupahan yang lebih berkeadilan bagi buruh.Membicarakan masalah upah tidak lagi sekedar urusan perusahaan dengan buruhnya, bukan juga hanya terkait dengan perusahaan, buruh dan pengusaha, dalam konteks mikro. Namun upaya membangun sistem pengupahan sudah akan melibatkan satu struktur ekonomi dan politik yang lebih luas, karena semakin banyak pihak yang berkepentingan terhadap pengupahan.
Sistem pengupahan tidak hanya terkait dengan beberapa unsur lama seperti, keuntungan perusahaan, produktivitas buruh, faktor produksi, kebijakan pemerintah, komponen kebutuhan, pertumbuhan ekonomi, maupun aspek mikro lainnya. Bicara masalah sistem pengupahan juga telah melibatkan berbegai kepentingan non ekonomi dan keuangan semata, namun sudah terkait dengan kepentingan ekonomi global, perdagangan internasional, dinamika politik internasional, pertumbuhan sektor industri, bahkan telah menyinggung persoalan ideologi.
Ada dua aliran, perspektif, ataupun paradigma dalam memandang sistem pengupahan yang berlangsung saat ini. Dua aliran atau paradigma tersebut setidaknya muncul berbagai pihak yang melihat sistem pengupahan yang berlangsung saat ini kurang memenuhi aspek keadilan bagi buruh, sehingga harus dilakukan perubahan.
Perspektif pertama lebih melihat ketimpangan sistem pengupahan yang berlangsung saat ini adalah disebabkan ketidakadilan yang terjadi di dalam sistem pengupahan itu sendiri. Sudut pandang seperti ini cenderung melihat persoalan pengupahan, baik itu aspek ketidakadilannya, ketimpangannya, maupun kecilnya kontribusi terhadap kesejahteraan buruh lebih pada aspek unsur, ketentuan, institusi, aturan/kebijakan, kriteria, maupun unsur-unsur pengupahan yang bersifat mikro. Salah satu persoalan yang selalu dianggap menjadi penghalang utama ketidakadilan pengupahan adalah kepentingan institusi yang terlibat dalam pengupahan.
Dalam sistem pengupahan, terdapat 3 institusi yang terlibat, yakni pemerintah, pengusaha beserta asosiasinya dan serikat buruh. Ketiga elemen inilah yang dipandang oleh perspektif pertama menjadi penentu status quo atau perubahan dalam sistem pengupahan. Pertarungan, perdebatan maupun dinamika pengupahan hanya dapat ditelaah dari berbagai kepentingan tiga elemen tersebut. Untuk itu, perubahan dan pergeserannya harus didasarkan pada motif, kepentingan, maupun nilai yang dianut oleh ketiganya.
Pada sisi pemerintah, terdapat unsur regulator dan fungsi-fungsi kenegaraan lainnya, seperti stabilisator ekonomi, politik, sosial dan budaya, fungsi integrasi politik, nasionalisme dan target-target pertumbuhan ekonomi, yang semuanya dibatasi dalam kawasan teritorial tertentu yang dinamakan negara. Pemerintah memiliki otoritas ataupun kekuasaan politik yang mutlak dalam sebuah sistem kenegaraan, sehingga berhak membuat kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Pengusaha memiliki fungsi yang sedikit berbeda dengan pemerintah. Mereka adalah agen ekonomi yang punya fungsi ganda dalam melakukan aktivitasnya. Pada satu sisi, perusahaan punya target komersial atau orientasi profit yang mutlak. Artinya, keberlangsungan sebuah perusahaan ditentukan oleh kemampuannya memperoleh keuntungan dengan penggunaan faktor dan modal produksi minimal. Selain itu, pemodal juga memiliki fungsi ekonomi, sosial, budaya dan politik yang bersifat melayani publik atau masyarakat. Mulai dari faktor produksi maupun barang yang dihasilkan selalu bersentuhan dengan masyarakat banyak sebagai konsumen. Dengan demikian, fungsi yang dijalankan oleh perusahaan/pemodal punya implikasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang tidak terisolasi.
Unsur ketiga yang paling lemah dalam sistem pengupahan dalam perspektif pertama ini adalah institusi buruh dengan asosiasinya, yakni serikat buruh. Lepas dari ideologi ataupun nilai apapun yang memandangnya, fungsi buruh adalah tetap sama, yakni sebagai salah satu “faktor produksi” dalam sebuah sistem produksi. Walaupun tidak sama dengan faktor produksi lainnya, seperti teknologi, modal dan bahan baku, keberadaan buruh adalah mutlak, sehingga tidak mungkin dilepaskan dalam sistem pengupahan. Yang membedakannya dari unsur lain adalah, buruh merupakan elemen yang hidup, tidak seperti faktor produksi lain yang hanya barang mati. Buruh punya tenaga, punya beban psikologis dan sosiologis. Buruh memiliki keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan ketahanan tertentu yang sedikit ditemui pada faktor produksi lainnya. Ada unsur kemanusiaan, kolektivitas dan psikologis pada elemen buruh yang membuatnya harus diperlakukan berbeda dengan faktor produksi lainnya.
Masih dalam perspektif pertama, persoalan pengupahan akan terkait dengan beberapa unsur berikut ini, yakni; Kebijakan pengupahan, struktur kebutuhan hidup buruh, peran institusi pengupahan, peran dan kontrol negara sebagai regulator pengupahan, peran serikat buruh dalam mendorong, mengkritisi dan menuntut kenaikan upah, transparansi keuangan dan motif profit pengusaha, penegakan hukum oleh institusi hukum, maupun saat ini sudah dihubungkan dengan elemen lain yang menyebabkan tertekannya jumlah upah buruh.
Ketidakpatuhan ketiga elemen ini dalam menjalankan kebijakan pengupahan yang telah ditetapkan ditenggarai menjadi pemicu ketidakadilan sistem pengupahan. Untuk itu, perbaikan, penegakan hukum atas pelanggaran kebijakan pengupahan, optimalisasi fungsi kontrol pemerintah, soliditas kekuatan serikat buruh, regulasi kebijakan pengupahan, maupun peningkatan representativeness institusi pengupahan, dan keadilan mekanisme proses dan penentuan upah menjadi entry paling relevan dalam perbaikan sistem pengupahan.
Pada kasus lokal dan nasional perdebatan dari sisi inilah yang paling sering berlangsung. Sebut saja misalnya upaya dari beberapa serikat buruh dalam merubah standar (struktur dan komponen) pengupahan dari Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan kemudian tuntutan dari KHM menjadi Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Alasan dari tuntutan tersebut adalah sederhana, yakni bagaimana standar, komponen dan struktur kebutuhan hidup buruh sudah sangat tidak sesuai lagi dengan beban ekonomi dan kebutuhan hidup buruh yang sebenarnya. Contoh kasus adalah apa yang dilakukan oleh Jaringan Advokasi Buruh Sumatera Utara (JABSU), mulai dari tahun 2002, 2003 dan 2004.
Mereka pertama kali melandasi perubahan standar kebutuhan buruh tersebut berdasarkan adanya kenaikan beberapa tarif dasar listrik dan BBM tahun 2003. Kenaikan tarif dasar yang berkorelasi dengan kebutuhan hidup dasar buruh tersebut ditenggarai telah menyebabkan kenaikan beberapa kebutuhan dasar buruh, seperti pangan, sandang, papan/perubahan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Kenaikan beberapa kebutuhan dasar tersebut telah meningkatkan beban hidup buruh, sedangkan kenaikan nilai upah buruh sama sekali tidak pada level yang signifikan untuk membantu buruh.
Jaringan Advokasi Buruh Sumatera Utara juga menilai, upah buruh di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan total biaya produksi. Mereka mengutip beberapa penelitian dan investigasi yang menyatakan bahwasannya total direct labour cost yang dialokasikan untuk upah buruh masih 5% dari total biaya produksi. Komposisi seperti ini tergolong masih sangat rendah dibandingkan komposisi lain, seperti untuk biaya siluman dan biaya lobby, ataupun masih terlalu rendah dibandingkan komposisi upah di negara lain, seperti Thailand dan Malaysia yang mencapai angka 13%.
Pola pengkritikan dan tuntutan yang dilakukan dalam perspektif ini terlihat ketika JABSU menyoroti ketiadaan perubahan substansial sejak desentralisasi kebijakan pengupahan. UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang memperbesar kewenangan pemerintah daerah dalam beberapa hal, termasuk tentang pengupahan melalui SK Menakertrans No. 226 tahun 2000 tentang peralihan kewenangan pengupahan dari Menteri ke Gubernur tidak mampu menyentuh kepentingan buruh.Legitimasi kepala daerah (Gubernur dan Bupati/walikota) dalam kebijakan pengupahan jelas dianggap tidak mampu merubah substansi kebijakan pengupahan. Pergeseran kewenangan ternyata tetap mempertahankan upah murah yang sangat tidak adil dan layak.
Ada dua hal pokok yang disoroti oleh JABSU guna menumbuhkan sebuah sistem pengupahan yang berkeadilan. Pertama adalah dalam level penetapan upah. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan serikat buruh yang menjadi bagian dalam institusi pengupahan daerah (Dewan Pengupahan Daerah/DPD) propinsi. Keberadaan serikat buruh tertentu dalam institusi DPD dijadikan legitimasi pemerintah dalam melakukan perumusan dan penetapan jumlah Upah Minimum Propinsi (UMP), padahal hanya sebahagian kecil serikat buruh yang sudah terlibat, sedangkan sebahagian besar sama sekali belum.
Proses penetapan UMP juga dianggap belum transparan, karena suara publik masih sangat minim dilibatkan. Dewan Pengupahan Daerah dianggap tidak menjalankan mekanisme keterbukaan, melalui seminar, dialog publik, sosialisasi melalui media dan strategi lain dalam menampung partisipasi masyarakat. Penelitian yang dilakukan DPD juga masih sangat timpang. Misalnya dalam proses penelitian. Proses penelitian yang dilakukan oleh DPD tidak mengakomodir kepentingan serikat buruh dan serikat pekerja di Sumatera Utara, sehingga jumlah UMP yang keluar pun jauh dari harapan buruh.
Level kedua yang disoroti oleh JABSU adalah tentang standar upah. Mereka cenderung melihat ketidakadilan upah yang berlangsung secara nasional dan lokal masih kurang memenuhi syarat-syarat kemanusiaan. Padahal dalam beberapa nilai dasar negara dan kemanusiaan global sangat mendukung perubahan upah menjadi lebih layak, seperti Deklarasi hak asasi manusia (DUHAM) dan UUD 1945.
Sistem pengupahan, khususnya standar upah dianggap telah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan nasional dan internasional. Salah satu kebijakan yang dianggap melanggar nilai dasar tersebut adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.1 Tahun 1999 tentang upah minimum. Kebijakan telah mengkerdilkan kehidupan buruh, karena menetapkan standar hidup dibawah nilai-nilai kelayakan sebagai manusia. Misalnya saja dengan menetapkan standar kebutuhan hidup manusia pada 43 komponen kebutuhan hidup semata.
Atas dua alasan tersebutlah kemudian organisasi seperti JABSU merancang strategi perubahan sistem pengupahan. Untuk itu JABSU kemudian menyusun satu komponen kebutuhan hidup layak berdasarkan standar hidup yang lebih tinggi, misalnya dengan meningkatkan jenis kebutuhan menjadi 61 komponen, dan memperbesar beberapa komponen tunjangan35
Apa yang dilakukan oleh JABSU merupakan salah satu strategi perubahan sistem pengupahan dalam perspektif pertama. Organisasi seperti itu tetap bermain dalam sistem pengupahan yang ada, dengan melakukan perbaikan dan perubahan secara parsial terhadap standar, konsep, proses, mekanisme dan peran dari beberapa institusi yang terlibat.
Perspektif kedua melihat persoalan sistem pengupahan dalam sudut pandang yang lebih luas daripada perspektif pertama. Persoalan sistem pengupahan yang timpang, eksploitatif dan tidak berkeadilan tidak sekedar implikasi dari lemahnya peran serikat buruh, kurangnya kontrol dari pemerintah, minimnya standar upah, menyimpangnya mekanisme perumusan dan penetapan upah, maupun ketiadaan transparansi dari perusahaan.
Persoalan sistem pengupahan dalam perspektif kedua melihatnya dalam wilayah yang lebih luas, yakni melibatkan aspek sistem ekonomi nasional dan internasional, struktur sosial, politik dan budaya, maupun sisi ideologis yang melatarbelakangi sebuah sistem ekonomi.
Berdasarkan luasnya cakupan dalam perspektif ini sehingga konsep perubahan yang ditawarkan menjadi lebih absurd dibandingkan perspektif pertama. Perubahan sistem pengupahan akan menyentuh konsep-konsep dasar tentang sistem ekonomi dan upah itu sendiri. Ada proses elaborasi dan dialektika yang cukup mendalam tentang konsep upah, sehingga proses perubahan yang ditawarkan juga akan menyentuh level teori dan ideologi ekonomi dan prinsip-prinsip dasar sebuah sistem ekonomi.
Tidak banyak memang elemen perburuhan yang mengkritisi prinsip dasar dari sebuah sistem pengupahan. Hal ini diakibatkan oleh luasnya cakupan konsep yang harus dielaborasi dalam melakukan perubahan sistem pengupahan. Salah satunya adalah tentang sistek ekonomi kapitalistik yang dari awalnya memang sama sekali kurang mendukung sebuah sistem pengupahan yang berkeadilan. Selama sistem ekonomi tersebut masih dijadikan acuan sistem pengupahan, maka selama itu juga sistem pengupahan tidak akan pernah adil.
Sistem ekonomi kapitalis adalah yang paling mendukung perdagangan liberal dimana akumulasi, pertukaran dan lalu lintas modal berlangsung tanpa batas. Aktor utama dari pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dan mendukung berdagangan bebas maupun pemuja pasar bebas adalah pemodal, pengusaha swasta. Merekalah yang menjadi pemegang kunci pertumbuhan ekonomi, sehingga berbagai sub sistem ekonomi haruslah melindungi aktivitas produksi.
Sistem ekonomi kapitalistik menjadi sangat eksploitatif dikarenakan tidak terkontrolnya kepemilikan pribadi atas faktor produksi. Kepemilikan atas faktor produksi pada segelintir orang tersebutlah yang memicu sistem ini menjadi sangat memeras dan merugikan kelompok masyarakat lain, yakni buruh yang hanya memiliki tenaga dan terbatas aksesnya terhadap faktor produksi. Kepemilikan alat produksi yang tidak terkontrol dan lemahnya intervensi pemerintah, ditambah dengan akses yang terbatas dari kelompok masyarakat terpinggir inilah yang memicu proses akumulasi modal menjadi tidak terbatas.
Di tingkat perusahaan proses akumulasi menjadi contoh paling jelas. Proses akumulasi tersebut secara nyata dapat dilihat dalam sistem pengupahan. Dikarenakan segelintir orang yang memiliki modal dan alat produksi, maka mereka berhak atas sebahagian besar keuntungan yang dihasilkan. Padahal, sebagian besar keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan tersebut merupakan kontribusi tenaga buruh. Komposisi dari keuntungan yang merupakan kontribusi buruh tersebutlah yang tidak kembali kepada buruh dalam bentuk upah dan tunjangan lainnya.
Menurut kajian yang dilakukan oleh elemen buruh, total biaya yang dialokasikan untuk upah buruh dari seluruh biaya produksi hanya sebesar 5%. Sedangkan total biaya produksi biasanya lebih kecil dari hasil penjualan yang diperoleh perusahaan dalam jangka waktu tertentu. Jika memang total biaya produksi lebih kecil dari hasil penjualan, maka komposisi labor cost dalam bentuk upah yang diambil dari hasil penjualan adalah lebih kecil dari 5% (<5%).
Dalam tataran teoritik, khususnya perspektif Marx, keuntungan dari hasil penjualan barang produksi yang tidak kembali ke buruh tersebutlah yang dinamakan surplus value (nilai lebih). Untuk itu, arah perubahan yang diharapkan oleh perspektif kedua ini adalah bagaimana mengembalikan surplus value tersebut kepada buruh.
Untuk memperoleh hak buruh yang sebenarnya atas surplus value yang dicuri oleh pemilik modal dan rente ekonomi lain tersebut, maka strategi perubahan sistem pengupahan bukan lagi sekedar mereformasi sistem pengupahan yang tidak adil, namun harus sudah masuk pada tataran dekonstruksi sistem yang ada, untuk kemudian membangun sistem pengupahan yang lebih adil dan berpihak kepada buruh.
Tentunya target seperti itu menghendaki penyusunan sebuah tatanan sistem ekonomi (termasuk sistem pengupahan) yang sangat mendalam, karena dalam proses dekonstruksi sistem ekonomi, harus disandingkan dengan sebuah tawaran sistem ekonomi alternatif. Untuk membangun sebuah sistem ekonomi dan sistem pengupahan yang lebih berpihak kepada buruh, harus ada tawaran konsep yang minimal memuat beberapa sub sistem ekonomi yang cukup lengkap. Sistem ekonomi alternatif tersebut harus menawarkan satu sub sistem kepemilikan alat produksi alternatif, sub sistem relasi buruh dan majikan, struktur produksi, ketenagakerjaan/perburuhan, kejelasan konsep keadilan, sistem pasar alternatif, konsep akumulasi modal, maupun teori tentang nilai yang berbeda dengan nilai dalam perspektif kapitalistik. Semua konsep dan sistem tersebut haruslah berpihak kepada buruh dan memuat nilai-nilai keadilan.
Melakukan elaborasi, memberi definisi, sampai kemudian membangun sebuah sistem ekonomi dan sistem pengupahan yang berkeadilan seperti inilah belum tuntas. Belum muncul sebuah tawaran sistem alternatif yang memuat nilai keadilan sekaligus relevan untuk diterapkan guna menghilangkan aspek eksploitasi dan penghisapan pemodal terhadap buruh.
Memang terdapat jalan tengah dari antara dua perspektif tersebut. Jika perspektif pertama menghendaki reformasi pada sistem ekonomi dan sistem pengupahan yang ada dan perspektif kedua menuntut adanya dekonstruksi untuk kemudian membangun sistem ekonomi alternatif, maka sistem pengupahan (dan juga sistem ekonomi) jalan tengah menghendaki reformasi dan dekokstruksi sistem ekonomi dan pengupahan secara parsial. Namun gejala pencarian jalan tengah perubahan sistem tersebut sering diterjemahkan dalam dua aras.
Pertama, jalan tengah yang dimaksud adalah membangun sebuah sistem pengupahan yang liberal. Artinya, mekanisme perumusan dan penetapan upah buruh diserahkan pada level bipartit, yakni antara buruh dengan pengusaha. Tentunya proses seperti ini mengharuskan adanya transparannsi keuangan perusahaan, dan diakuinya keberadaan serikat buruh, melalui dewan buruh di tingkat perusahaan.
Ketika sistem seperti ini diterapkan, maka penentuan jumlah upah merupakan hasil tawar-menawar antara buruh dengan pengusaha, tanpa adanya intervensi dari pemerintah dalam bentuk kebijakan. Sistem pengupahan yang diberlakukan saat ini masih mensyaratkan adanya intervensi atau campur tangan pemerintah. Salah satu intervensi tersebut adalah melalui Peraturan Menteri Tenaga kerja No. 01 Tahun 1999 tentang upah minimum (UM). Apa yang dimaksud oleh kebijakan ini sebenarnya bertujuan sebagai jaring pengaman (safety net) bagi buruh dari kesewenangan dan pelanggaran yang dilakukan pengusaha dalam pengupahan.
Jika sistem dengan prinsip safety net ini dirubah, dan kemudian digantikan dengan sistem yang lebih liberal, dimana kebijakan upah diserahkan secara bipartit, antara buruh dan pengusaha, maka intervensi atau campur tangan pemerintah akan minimal atau hilang sama sekali. Apakah sistem seperti ini layak untuk diterapkan? Jika layak dan kemudian dapat dilaksanakan, maka buruh akan terjebak pada sistem ekonomi liberal murni yang memang pada akhirnya merupakan tujuan pemodal. Padahal, komponen buruh sendiri belumlah kuat. Jika posisi buruh masih lemah seperti sekarang, maka pemberlakukan mekanisme seperti itu akan sangat merugikan buruh.
Sistem lain yang dianggap lebih memenuhi beberapa aspek keadilan tanpa melakukan dekonstruksi terhadap sistem yang ada adalah melalui restrukturisasi kepemilikan alat produksi secara parsial. Dalam sistem seperti ini, sub sistem yang harus dirubah adalah kepemilikan alat produksi dan reposisi buruh dalam sistem produksi. Dalam sistem seperti ini, buruh harus memiliki wadah serikat buruh yang kuat, baik itu di tingkat pabrik maupun dalam geopolitik nasional. Posisi buruh tersebut harus benar-benar kuat, sehingga memiliki pengaruh di tingkat perusahaan untuk mempengaruhi berbagai kebijakan produksi (termasuk kebijakan pengupahan), sekaligus memiliki posisi tawar dalam konstalasi politik nasional guna mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam bidang politik ekonomi.
Dua sistem terakhir sama-sama belum memiliki kejelasan. Masih banyak tahapan yang harus dilewati, masih banyak pra kondisi yang wajib disiapkan oleh elemen buruh guna membangun sebuah sistem ekonomi dan sistem pengupahan yang lebih adil, berpihak dan mampu mengangkat buruh dari keterpurukan dan kemiskinan.
24 Abidin, Jaenal, Kedaulatan Buruh, sebuah makalah yang disampaikan dalam Semiloka Pengupahan yang diselenggarakan oleh Kelompok Pelita Sejahtera, Medan, 2004. Pada makalah ini dikatakan, perubahan kebijakan yang berlangsung saat ini bersifat incremental, sehingga hanya cocok pada jangka pendek. Pada jangka panjang harus ada pemikiran yang komprehensif dan menyentuh akar masalah oleh gerakan buruh dalam meretas persoalan perburuhan.
25 International Labour Organization (ILO), Social Adjustment Through Sound Industrial Relations and Labour Protection, Final Report of An ILO/UNDP TSS1 Advisory Mission, Jakarta, 1995.
26 Suryahadi Asep, Wenefrida Widyanti, Daniel Perwira, dan Sudarno Sumarto, dalam Jurnal Analisis Sosial Akatiga, Vol. 7 No.1 Februari, Bandung, 2002, hal 21.
27 Tjandraningsih Indrasari, Kebutuhan Fisik Minimum dan Upah Minimum, dalam Dedy Haryadi, dkk, 1994, TinjauanKebijakan Pengupahan Buruh di Indonesia, Bandung. Akatiga.
28Suryahadi Asep, dkk, Upah dan Kesempatan Kerja, Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Formal Perkotaan, Jurnal Analisis Sosial Akatiga, Bandung, Vol.7 No. 1 Februari 2002.
29 Ibid, hal 24.
30 Bahkan menurut seorang pengusaha besar di Kota Medan dan Sumatera Utara, pemberlakuan upah minimum telah menyulitkan pengusaha dalam mengatur sistem pengupahan di tingkat perusahaan. Di tiap perusahaan terdapat perbedaan kemampuan dalam menggaji buruhnya, sehingga harus diberi kebebasan membentuk sistem tersendiri.
31 Harian Medan Bisnis, 19 November 2003. Pada kolom ini, seorang ekonom di Sumatera Utara menyatakan, upah yang ditentukan oleh pasar sebenarnya lebih baik jika didasarkan pada konsep upah minimum. Pasar tidak dapat didustai, karena dinamika pasar akan berbanding lurus dengan jumlah upah. Untuk itu, antara pengusaha dan buruh harus bekerja sama untuk meningkatkan permintaan agar secara otomatis menaikkan upah buruh. Negara-negara yang tetap menerapkan upah minimum nantinya akan terjebak pada upah buruh yang rendah.
32 Suryadi, Asep, dll, 2001. Wage and Employment Effects of Minimum Wage Policy in the Indonesian Urban Market, Jakarta.
33 Setia, Resmi, Serba-serbi Sistem Pengupahan:Tinjauan Singkat Terhadap Kebiajakan Upah Minimum di Indonesia, makalah pada Semiloka Pengupahan Alternatif, yang diselanggarakan Kelompok Pelita Sejahtera, Medan. 2004.
34 Sitorus, Toga, Sistem Penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) di Propinsi Sumatera Utara, disampaikan dalam Semiloka Pengupahan Alternatif yang diselenggarakan Kelompok Pelita Sejahtera, Medan. 2004.
35 Dikutip dari pernyataan sikap dan tuntutan jaringan advokasi buruh Sumatera Utara tentang Upah Minimum Propinsi 2004.
Rabu, 08 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar