Tampilkan postingan dengan label Konflik lahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konflik lahan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 Oktober 2008

KONFLIK LAHAN DI KABUPATEN ASAHAN DAN LABUHAN BATU

I. Pendahuluan

Tidak dipungkiri sebenarnya struktur ekonomi Indonesia masih berbasis pertanian. Hal itu dapat dilihat dari data tahun 2002, dari total luas daratan seluruh Indonesia sebesar kurang lebih 193 juta Ha, urutan kedua setelah kawasan hutan adalah sektor pertanian, baik itu sawah, tegalan dan perkebunan, yakni sebesar kurang lebih 37 juta Ha, atau 19% dari total seluruh daratan di Indonesia. Walaupun saat ini pertumbuhan sektor pertanian mengalami peningkatan namun ternyata berdampak pada menipisnya luas hutan, baik hutan lindung dan hutan konservasi. Ironisnya, degradasi hutan tersebut ternyata diakibatkan oleh konversi hutan secara legal maupun ilegal bagi pertumbuhan industri perkebunan.

Menurut catatan terakhir, sebahagian besar penduduk di Indonesia masih bermatapencaharian sebagai petani. Pada tahun 2003, kurang lebih 42 juta orang atau 46,26% dari total penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Namun besarnya penduduk yang hidupnya tergantung pada pertanian tersebut sangat tidak didukung oleh ketersediaan tanah sehingga mengakibatkan produktivitas yang cukup rendah, yakni sebesar 1,68 juta per tahun. Tentu saja rendahnya produktivitas tersebut punya hubungan yang cukup kuat terhadap rasio petani dengan luas tanah yang dikelola untuk pertanian. Berdasarkan data yang ada, dari tahun ke tahun jumlah petani gurem atau hanya mengelola lahan kurang dari 0,5 Ha semakin besar. Mereka yang tergolong sebagai petani gurem tersebut tentu bukan saja yang menjadi pemilik, namun juga para petani yang harus menyewa tanah milik petani pemilik lahan luas ataupun penduduk yang bukan petani namun sekedar mengambil keuntungan dari ketidakjelasan hukum pertanahan.

Pertambahan petani gurem tersebut ternyata tidaklah kecil. Menurut penelitian, pertambahan jumlah petani gurem tersebut mencapai 2,6% setahun. Jika pada tahun 1993 jumlah petani gurem sebesar 10,8 juta kepala keluarga, maka pada tahun 2003 sudah mencapai 13,7 juta kepala keluarga. Ini artinya, berdasarkan kalkulasi sederhana, maka pada tahun 2007 jumlah petani gurem sudah mencapai 15,7 juta kepala keluarga. Ini berarti, semakin lama kondisi sektor pertanian di Indonesia tidaklah semakin membaik, salah satunya disebabkan oleh semakin menyempitnya lahan yang dikelola oleh petani. Jika kondisi seperti ini yang terjadi, rasio antara petani dengan tanah semakin kecil, maka produktivitas pertanian akan semakin kecil dan pemerataan kemiskinan (sharing poverty) akan terjadi di perdesaan.

Selain disebabkan oleh menyempitnya lahan yang dapat dikelola oleh petani, tentu saja sebenarnya rendahnya produktivitas pertanian dan kemiskinan petani di perdesaan dilatarbelakangi oleh kebijakan dan sistem ekonomi yang tidak memihak kepada petani miskin atau petani gurem. Berdasarkan seluruh latarbelakang yang ada, sistem penguasaan dan pengelolaan lahan dianggap menjadi faktor penentu kemiskinan petani.

Pentingnya tanah bagi kesejahteraan rakyat secara umum, khususnya petani sudah dijadikan landasan ekonomi negara. Sejak masa kolonial, era pemerintahan Soekarno, rejim pemerintahan Soeharto sampai saat ini tanah tetap menjadi sumberdaya utama pembangunan. Namun sayangnya sumberdaya alam, khususnya ketersediaan lahan atau tanah juga dikuasai secara timpang sehingga menimbulkan sengketa terbesar di Indonesia. Sejak Soekarno berkuasa sampai saat ini tanah tetap menjadi rebutan pihak-pihak yang saling berkepentingan dan akhirnya merugikan mayoritas rakyat, terutama petani yang kelangsungan hidupnya sangat tergantung dengan tanah.

Dapat dikatakan sejarah ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah lebih dari umur republik ini. Para pengritik dari kalangan organisasi non pemerintah, ilmuan berhaluan sosialistik maupun fungsionalisme menyatakan situasi tersebut disebabkan oleh kesalahan disetiap rejim yang tidak memiliki kemampuan politik dalam menjalankan landreform dan reforma agraria seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu melakukannya. Sebahagian lagi memiliki analisis tentang terlalu kuatnya kepentingan modal sehingga menjadikan negara tidak memungkinkan untuk lepas dari kekuatan kapital yang sudah ratusan tahun memberi keuntungan kepada para pemburu rente pertanahan.

Di sisi lain sebenarnya pemerintah sudah memiliki beberapa momentum penting dalam meletakkan dasar sistem penguasaan dan pengelolaan tanah ataupun membangun hukum pertanahan yang berkeadilan. Kemerdekaan tahun 1945, lahirnya UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, pembentukan Badan Pertanahan Nasional, Keluarnya Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 maupun pertemuan-pertemuan tingkat nasional dan internasional dalam rangka penyusunan kebijakan pertanahan. Seluruh tahapan-tahapan tersebut dilewatkan sia-sia tanpa perubahan yang berarti terhadap sistem penguasaan dan pengelolaan tanah yang lebih adil.

Perubahan yang terjadi malah terbalik dari yang diharapkan oleh rakyat, hal ini ditunjukkan dengan dijadikannya tanah sebagai faktor produksi. Ketika tanah menjadi faktor produksi, maka sudah tentu penguasaan dan pengelolaan tanah ditentukan oleh pihak-pihak yang memiliki akses ke penguasa, modal, dan kepentingan kapitalisme global yang sudah sangat mengikat pemerintah tanpa mempertimbangan kondisi rakyat yang sudah tidak lagi bertanah dan diperbudak di perusahaan-perusahaan perkebunan ataupun bekerja sebagai buruh tani penggarap tanah-tanah desa yang sudah menjadi milik orang-orang kaya di kota dan di perdesaan.

Ketidakseriusan dari pemerintah dalam menata sistem penguasaan dan pengelolaan tanah tersebut dapat dilihat dari jumlah konflik tanah yang terjadi di Indonesia. Menurut catatan dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada tahun 2004, per tahun 2001 saja telah tercatat ada 1753 sengketa tanah di seluruh Indonesia yang melibatkan 1.189.482 keluarga dan 10.892.203 ha tanah. Tentu saja angka ini sangat luarbiasa dibandingkan dengan jumlah sengketa tanah yang diselesaikan oleh pemerintah. Sebagai contoh adalah yang terjadi di Kabupaten Asahan. Dari kurang lebih 300 sengketa lahan yang tercatat dan seratusan sengketa yang pernah muncul ke permukaan, sampai tahun 2006 hanya satu kasus yang diselesaikan dalam bentuk ganti rugi tanah dan satu kasus yang berakhir dengan pengembalian tanah kepada masyarakat. Itu pun tidak seluruhnya memuaskan. Penyelesaian ganti rugi hanya terjadi pada sengketa yang melibatkan satu keluarga dan luas tanah yang tidak lebih dari 8 hektar, dan penyelesaian dengan pengembalian tanah tidak dilakukan oleh mekanisme yang diatur pemerintah, namun melalui institusi-institusi militer sebagai induk dari perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat.

Secara nasional analisis terhadap situasi pertanahan di Indonesia sudah banyak mengemuka ke permukaan. Seperti yang disampaikan dalam Tap MPR RI No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Disitu dinyatakan ada empat permasalahan agraria di Indonesia, yakni kepemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan, inkonsistensi hukum serta kerusakan sumberdaya alam. Demikian juga dari sisi sektor pertanian. Permasalahan pertanian terdiri atas semakin sempitnya penguasaan tanah, kesulitan membendung konversi ke penggunaan pertanian, konflik penguasaan, fragmentasi tanah dan sebagainya. Semua persoalan-persoalan tersebut menjadi dasar rencana reforma agraria pemerintah.

Rencana reforma agraria yang dicanangkan dalam Tap MPR tersebut sampai saat ini masih sekedar slogan-slogan kosong semata. Buktinya sampai saat ini setelah 6 tahun dicanangkan, belum ada kebijakan yang signifikan mengarah pada reforma agraria. Memang setahun belakangan pemerintah melalui Presiden sudah memberi pernyataan tentang mulai dijalankannya reforma agraria. Presiden menyatakan pemerintah akan menyediakan lahan seluas 8,15 juta hektar yang diperuntukkan kepada petani penggarap, buruh tani dan penduduk miskin. Presiden juga telah membentuk sebuah tim yang diketuai oleh Kepala BPN. Namun sayangnya sampai saat ini rencana tersebut belum terrealisasi, bahkan semakin menimbulkan kecurigaan dari banyak kalangan, karena dari sisi pembiayaan, motif politik maupun tujuannya sangat tidak jelas.

Rencana untuk melakukan pembaharuan agraria tersebut tampaknya semakin tidak jelas karena ternyata pemerintah seperti memiliki agenda baru terselubung yang sebenarya menipu masyarakat. Berbarengan dengan statement pembaharuan agraria yang dikeluarkan pemerintah, ternyata pembahasan tentang perpanjangan HGU dari 25 tahun dan 30 tahun menjadi 60 tahun dan dapat diperpanjang 45 tahun dijalankan. Belum lagi masalah pembiayaan pembaharuan agraria yang katanya selain berasal dari APBN, juga dibiayai oleh Bank Swasta maupun negara dan Bank Asing, seperti Deutsche Bank dan Commonwealth Bank. Hal ini jelas-jelas rencana penipuan yang pada akhirnya akan kembali menjebak rakyat.

Beberapa realitas yang dijelaskan di atas hanya sebahagian kecil dari kompleksitas persoalan yang terkait dengan sistem penguasaan dan pengelolaan di negeri ini. Dua kawasan yang menjadi representasi rumitnya masalah pertanahan tersebut terjadi di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Dua wilayah tersebut sangat sarat dengan berbagai persoalan pertanahan, antara lain tingginya intensitas sengketa, rumitnya penerapan hukum pertanahan, besarnya kepentingan modal yakni investasi dan perkembangan industri perkebunan maupun dinamika perlawanan rakyat. Hal itulah yang mendasari penelitian ini dilakukan di dua wilayah administratif tersebut.

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yakni; membuat gambaran secara umum tentang sistem penguasaan dan pengelolaan tanah, sengketa pertanahan yang terjadi, situasi sosial ekonomi kelompok-kelompok perlawanan maupun pitensi-potensi pemberdayaan yang memungkinkan dilakukan dalam rangka reforma agraria. Pendekatan utama dalam penelitian adalah pengamatan secara langsung terhadap kondisi penguasaan dan pengelolaan tanah dengan menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam, studi literatur maupun studi dokumentasi.

Ada banyak kendala yang ditemui dalam penelitian ini. Selain keterbatasan waktu dan tenaga lapangan, sulitnya mengakses data ke pemerintahan, ketiadaan data lengkap dari kelompok-kelompok tani maupun minimnya data skunder membuat penelitian tidak bisa menggambarkan secara holistik seluruh persoalan pertanahan. Namun dengan data-data yang telah dikumpulkan peneliti meyakini pada tahap awal hasil penelitian dan analisis yang dilakukan bisa menjadi acuan awal bagi pihak-pihak yang memiliki perhatian terhadap isu pertanahan, baik di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu maupun Sumatera Utara secara keseluruhan.


II. Sejarah Singkat Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Indonesia

Secara umum konflik pertanahan di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik nasional, terutama pergantian rejim kekuasaan, terutama dari rejim Soekarno ke rejim orde baru. Pergantian rejim tersebut tentu diwarnai dengan peristiwa-peristiwa politik yang latarbelakang kemunculan dan dampak yang ditimbulkan punya hubungan yang sangat kuat dengan kemudian dimanfaatkan oleh rejim yang berkuasa untuk mengumpulkan sumberdaya sebesar-besarnya, termasuk penguasaan lahan.

Begitu pentingnya penguasaan lahan atau tanah dalam sistem politik sehingga dalam sebuah rejim berbagai pihak punya kepentingan besar untuk menguasainya. Pada era kepemimpinan nasional Soekarno, tanah dianggap sebagai syarat penting terjadinya revolusi, dikarenakan, tanpa landreform, revolusi diibaratkan gedung tanpa alas, pohon tanpa batang ataupun sama saja dengan omong besar. Apa yang diungkapkan oleh Soekarno tersebut dianggap sebagai representasi ideologis Sosialisme Indonesia. Tanah dianggap oleh Soekarno sebagai hak milik petani dan penggarap tanah, dan tidak dapat dijadikan alat penghisapan kepada pihak manapun, terutama kepada petani.

Pemikiran seperti itulah yang kemudian mengilhami Soekarno untuk mendorong keluarnya kebijakan umum tentang pertanahan, yakni Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA No. 5 Tahun 1960). Undang-Undang ini pada pokoknya adalah bertujuan melakukan penataan kembali kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan tanah yang dianggap selama ratusan tahun tidak membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Tujuan tersebut pemerataan melalui penataan pengelolaan dan penguasaan tanah tersebut tentu saja merupakan impian yang jika diterapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama petani yang sebelumnya mengalami ketertindasan oleh pengusaha-pengusaha perkebunan, tuan tanah dan penguasa politik. Namun sayangnya, kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana sampai saat ini.

Sebelum Belanda keluar dari Indonesia, sistem penguasaan, kepemilikan dan pengelolaan tanah diatur oleh hukum agraria kolonial yang dikenal dengan nama Agrarische Wet yang mulai diberlakukan pada tahun 1870. Tentu saja hukum agraria tersebut sama sekali tidak bertujuan membangun keadilan penguasaan dan pengelolaan tanah, namun sekedar meluluskan kepentingan investasi dan liberalisme penguasaan lahan di wilayah jajahan.

Keluarnya hukum agraria tersebut kemudian mulai dimanfaatkan oleh pemerintahan kolonial Belanda dan pengusaha-pengusaha di Eropa maupun Amerika. Berama-ramai kemudian mereka menanamkan modalnya di bidang usaha perkebunan yang pada saat itu sedang booming. Jika sebelumnya pengusaha-pengusaha perkebunan mengalami kesulitan mendapatkan lahan perkebunan dalam jumlah luasan besar dan jangka waktu lama, maka diberlakukannya Agrarische Wet, maka kendala-kendala memperoleh lahan tersebut mulai hilang dan pengusaha perkebunan dapat memperluas lahan perkebunan dengan mudah.

Jika sebelum Agrarische Wet diberlakukan sistem tanam paksa cultuur stelsel, maka diberlakukannya hukum agraria kolonial maka pengusaha di Hindia Belanda dimungkinkan untuk memperoleh hak persewaan dan pengelolaan secara lebih leluasa melalui sistem hak erfpacht dan hak eigendom. Tragisnya, pemberlakuan hukum agraris tersebut ternyata telah merampas kepemilikan tanah komunal rakyat, baik yang dikelola oleh masyarakat adat maupun petani penggarap. Salah satu aturan yang dianggap merugikan tersebut adalah diberlakukannya Domein Verklaring, dimana dinyatakan bahwa negara berhak atas tanah yang tidak bisa dibuktikan oleh pihak lain.

Fungsi Domein Verklaring tersebut jelas merugikan rakyat, karena sebahagian besar tanah dikelola secara komunal oleh masyarakat adat. Hal ini berbeda dengan kepemilikan raja ataupun sultan yang pada saat itu sudah tunduk kepada Belanda, sehingga hak-haknya diakui oleh pemerintah kolonial. Hal itu terjadi saat Sultan Deli memberikan konsesi kepada pengusaha perkebunan yang sebenarya menjadi hak datuk-datuk kepala suku Batak Karo. Pelanggaran hak tersebut kemudian menimbulkan konflik diantara masyarakat adat dengan pihak perkebunan.

Sampai masa Indonesia merdeka, praksis sebenarnya tidak ada perubahan apapun dalam sistem hukum pertanahan. Perubahan hanya terjadi ketika Jepang masuk namun tanpa diiringi dengan perubahan sistem hukum pertanahan. Jepang hanya memanfaatkan situasi kekacaubalauan sistem hukum bagi kepentingan perang mereka. Masyarakat pun kemudian memanfaatkan kondisi dengan menggarap sebahagian lahan perkebunan dan lahan tak bertuan, sedangkan pengusaha-pengusaha perkebunan meninggalkan Indonesia dan menelantarkan perkebunan yang telah mereka bangun.

Masa pendudukan Jepang yang pendek tersebut ternyata tidak membawa perubahan yang lebih terhadap masyarakat. Tidak ada perubahan sistem yang terjadi, karena Jepang hanya memberi toleransi kepada petani dan masyarakat umum untuk menduduki lahan perkebunan dan membuka lahan-lahan pertanian baru. Namun pasca 1945, pemerintah Indonesia mulai menyadari bahwasannya penataan ulang kepemilikan lahan menjadi syarat penting perbaikan negara. Kemudian pada tahun 1948 terbentuklah panitia yang menggodok tersusunnya hukum pertanahan yang baru menggantikan hukum agraria kolonial.

Panitia tersebut bekerja lambat dan terseok-seok akibat revolusi fisik, pergantian sistem negara dan kabinet, sehingga barulah pada tahun 1960 UUPA secara resmi disyahkan oleh DPR. Namun keluarnya produk hukum agraria tersebut ternyata tidak serta-merta mampu merubah sistem penguasaan dan pengelolaan tanah, karena Indonesia terikat dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang salah satu pernjanjiannya adalah adanya perlindungan dan pengakuan terhadap bekas-bekas perkebunan milik Belanda dan swasta asing lainnya.

Sejak pendudukan Jepang sampai menjelang dengan keluarnya UUPA No. 5 Tahun 1960 diakui sebagai sebuah masa dimana pemerintah menghadapi dilema. Di satu sisi, Sosialisme dijadikan pegangan pimpinan nasional dalam melaksanakan pembaharuan agraria, namun di sisi lain pemerintah harus mentaati pasal-pasal KMB yang melindungi perkebunan milik Belanda. Namun diakibatkan belum adanya hukum yang tegas mengatur sistem penguasaan tanah, maka rejim yang berkuasa (baik masa pendudukan Jepang maupun Republik Indonesia Serikat dan NKRI) mentoleransi penggarapan dan pendudukan lahan perkebunan maupun pembukaan lahan baru.

Pada periode 1945 sampai dengan 1960-an juga dikenal sebagai masa revolusi sosial dan gerakan sosial radikal yang tidak puas dengan plin plannya negara untuk berpihak kepada rakyat tertindas. Pada saat itu berlangsung gerakan-gerakan terideologi yang mencoba melepas kepentingan-kepentingan pengusaha perkebunan Belanda dan asing lainnya yang berkolaborasi dengan penguasa-penguasa lokal untuk kembali menancapkan kepentingannya di perkebunan-perkebunan yang telah mereka tinggalkan. Namun gerakan radikal tersebut mendapat tentangan dari gerakan militer separatisme yang mencoba membolisasi massa merebut perkebunan-perkebunan, khususnya di Sumatera timur.

Usaha masuknya perkebunan Belanda dan asing lainnya sebahagian mengalami keberhasilan. Walaupun disertai dengan gantirugi, pergantian lahan dan sebagainya, tetap saja tidak memuaskan masyarakat yang merasa berhak atas pendudukan lahan yang telah dilakukan. Dikarenakan semakin meluasnya penggarapan lahan perkebunan, kemudian pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan tegas pelarangan pendudukan lahan bagi yang tidak berhak.

Keluarnya peraturan-peraturan pelarangan tersebut ternyata tidak berjalan efektif ketika pemerintah melakukan nasionalisasi perkebunan, infrastruktur dan fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh Belanda pada tahun 1958, yang juga kemudian menjadi pintu masuknya militer dalam menguasai aset-aset nasionalisasi. Namun selama proses perumusan hukum agraria berjalan, rakyat sendiri sudah tidak sabar menunggu dan semakin beratnya beban ekonomi pada saat itu, pendudukan lahan perkebunan dan pembukaan lahan terus berlangsung, terutama setelah didukung oleh pemerintah melalui Undang-Undang Darurat No. 8 tahun 1954 Tentang Pemakaian Tanah Perkebunan Untuk Rakyat. Demikian juga pasca keluarnya UUPA tahun 1960. Ketiadaan aturan pelaksanaan UUPA membuat undang-undang tersebut tidak dapat dilaksanakan, selain ketiadaan ahli-ahli agraria.

Seperti yang terlah dijelaskan di atas, ketidaktegasan pemerintah yang plinplan menjalankan landreform berdasarkan UUPA No. 5 Tahun 1960, masih kuatnya Belanda yang mendorong separatisme dan mengikat pemerintah dengan KMB, besarnya kepentingan petani dan masyarakat adat atas tanah menjadi kunci persoalan sengketa agraria. Akibat dari kebingungan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang saling tumpang tindih dan bertolak belakang. Di satu sisi landasan filosofi dan ideologi UUPA sangat berpihak kepada masyarakat tertindas, terutama petani. Namun di sisi lain pemerintah tidak berani dan tampaknya tidak memiliki kapasitas dalam mengatur proses landreform berjalan.

Ketika kekuatan masyarakat semakin besar dalam melepas kepentingan Belanda dan modal asing muncullnya momentum politik yang kemudian membuyarkan proses landreform di Indonesia. Walaupun di tingkat perundangan tidak banyak perubahan, namun pada prakteknya di lapangan penyingkiran hak masyarakat adat dan petani atas tanah semakin dipersempit. Upaya-upaya politik dalam bentuk intimidasi pada masa orde baru telah merampas hak yang sebelumnya sudah dilindungi, terutama dialami oleh petani yang di cap berhaluan kiri oleh pemerintah.

Periode 1965 sampai dengan 1980 dapat dikatakan merupakan masa paling berat yang dirasakan oleh petani penggarap, dikarenakan pada saat itulah stigma komunisme digunakan oleh pemerintah untuk memperoleh tanah. Pada periode itu pula muncul tiga undang-undang yang menjadi cikal bakal semakin menguatnya kapitalisme di Indonesia, yakni keluarnya UU Pokok Kehutanan, UU Penanaman Modal Asing dan UU Pokok Pertambangan. Untuk melancarkan hal tersebut, tentu saja pemerintah berusaha memuluskan jalan dengan memberikan stigma politik terhadap masyarakat terorganisir yang mencoba mempertahankan haknya.

Ada banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah pada saat itu, mulai membentuk masyarakat yang apolitis, melakukan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh organisasi yang dianggap berhaluan kiri, mengintimidasi organisasi-organisasi perlawanan, menarik kembali surat-surat ijin penggarapan lahan yang sebelumnya dilegitimasi oleh Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, dan mengambangkan UUPA yang semuanya bermuara pada stabilitas politik dan mengutamakan pembangunan ekonomi.

Pada saat yang bersamaan, pada periode tersebut (terutama tahun 1970-an) pertumbuhan perkebunan swasta dan negara (BUMN) mulai berkembang cepat. Negara sendiri melihat potensi perkebunan semakin besar sehingga nasionalisasi perkebunan Belanda kemudian diteruskan dengan terbentuknya perusahaan Aneka Tanaman (ANTAN), Perusahaan Nasional Perkebunan dan kemudian menjadi PTPN. Besarnya kepentingan pemerintah terhadap perkebunan, tingginya animo swasta dalam negeri dan asing juga semakin memperburuh kondisi pertanahan khusususnya di Sumatera Utara. Dengan berbagai cara, pemerintah kemudian merancang sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri, pola PIR, dan menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang semuanya bermuara pada pengembangan ekonomi berbasis kehutanan dan perkebunan.

Situasi sistem penguasaan dan pengelolaan pertanahan juga tidak mengalami perobahan sama sekali, karena UUPA tidak pernah menjadi prioritas bahkan dipeti-eskan oleh pemerintah. Buktinya, pemerintah malah semakin menegaskan keberadaan perkebunan-perkebunan asing dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak Barat atau pemberian Hak Guna Usaha kepada pihak penguasaha perkebunan.

Keluarnya kebijakan ini jelas mengingkari hakekat lahirnya UUPA. Apalagi di lapangan, ternyata kebijakan tersebut berjalan jauh menyimpang dari yang tertulis. Kepentingan politik lebih kuat mempengaruhi dibandingkan ketentuan hukum dan mekanisme pengambilalihan lahan oleh pemerintah dari petani dan masyarakat penggarap. Tidak ada proses musyawarah yang terjadi, namun intimidasi, pengambilalihan sepihak oleh perusahaan perkebunan setelah mendapatkan ijin dari pemerintah.

Sepanjang 1980 sampai dengan 1997 hampir tidak terlihat perlawanan yang berarti dari rakyat mengingat ekonomi menjadi panglima pada saat itu. Pertumbuhan ekonomi nasional memang cukup tinggi. Namun di sebalik pertumbuhan tersebut tersimpan ratusan bahkan ribuan masalah pertanahan di Sumatera Utara. Pecahnya reformasi 1998 dan kejatuhan Soeharto dijadikan moment kebangkitan perlawanan kelompok-kelompok petani yang haknya telah dirampas oleh perkebunan. Namun sayangnya perlawanan tersebut selalu dihadapkan dengan mekanisme penyelesaian secara hukum yang sebenarnya menjadi titik terlemah rakyat, karena peristiwa politik sudah menghancurkan segala bukti otentik hak formal masyarakat, dan kurang diutamakannya kepemilikan tanah ulayat oleh komunitas-komunitas adat.

Kini industri perkebunan telah menjadi prioritas negara karena memberikan kontribusi ekonomi yang luar biasa besar. Rakyat yang mencoba merebut hak nya tidak punya cukup bukti formal dan kalah cepat dengan perpanjangan HGU perkebunan besar asing yang rata-rata berakhir tahun 1998. Berbagai mekanisme penyelesaian berakhir buntu ketika pemerintah dan lembaga-lembaga yang berwenang selalu mengarahkan penyelesaian melalui proses hukum.


III. Situasi Politik Pertanahan di Indonesia

Salah satu isu politik yang saat ini kembali mencuat ke permukaan setelah selama puluhan tahun hanya terpendam dalam bentuk sengketa-sengketa di tingkat lokal adalah politisasi isu pertanahan. Entah memang hanya kebetulan atau memang sudah menjadi strategi politik rejim, yang pasti pemerintah, kalangan modal, organisasi non pemerintah maupun rakyat secara umum sudah mulai ramai berkomentar ataupun melakukan aksi-aksi yang mengusung isu pertanahan secara nasional.

Awalnya adalah statement dari Presiden Soesilo Bambang Yudoyono bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Kepala BPN tentang rencana melakukan redistribusi tanah dengan judul reforma agraria. Tentu saja statement ini disambut secara beragam oleh berbagai pihak. Atas nama mensejahterakan rakyat, ketahanan pangan dan pendayagunaan lahan, pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Ada tiga topik yang menjadi fokus rencana reforma agraria yang diungkapkan, yakni masalah kepemilikan tanah, dimana tanah yang dikuasai oleh negara dapat digunakan oleh petani. Kedua, terkait dengan ketahanan pangan, dimana akan dikembangkan program yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan meningkatkan ketahanan pangan, dan yang ketiga adalah pendayagunaan lahan-lahan hutan. Menurut pemerintah, ketika ketiga program ini dijalankan, maka nantinya dapat mengatasi pengangguran dan kemiskinan.

Rencana tersebut seharusnya memberi angin segar terhadap pihak-pihak yang punya kepentingan besar jika reforma agraria benar-benar dilakukan, terutama kelompok-kelompok perjuangan tanah-tanah rakyat yang dirampas oleh pengusaha maupun penyelewengan kekuasaan oleh pemerintah. Sekali lagi, statement ini adalah janji yang perlu dibuktikan oleh pemerintah.

Bicara tentang politik pertanahan di Indonesia, maka tidak akan bisa dilepaskan dari keberadaan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tanggal 24 September 1960 sebagai pengganti undang-undang agraria kolonial yang sudah berlaku selama ratusan tahun. Begitu pentingya UUPA pada saat itu sehingga pembahasannya berlangsung selama 12 tahun, yakni mulai tahun 1948 sampai dengan tahun 1960. Pada saat itu Soekarno memahami bahwasannya hukum agraria kolonial sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Tanah sama sekali tidak memiliki fungsi sosial dan ekonomi bagi masyarakat namun sudah menjadi barang dagangan dan dijadikan alat untuk mengeksploitasi rakyat. Inilah yang kemudian mendasarinya untuk melakukan perubahan.

Jelas atmosfir sosial politik sebelum dan pada saat lahirnya UUPA No. 5 Tahun 1960 tergolong tidak normal. Semangatnya adalah melakukan perubahan radikal terhadap sistem penguasaan dan pengelolaan peninggalan kolonial yang eksploitatif. Namun pada saat dimulainya pembahasan, Indonesia dalam kondisi baru saja merdeka. Memang pemerintah mencoba melakukan langkah-langkah percobaan dengan melakukan landreform di Banyumas. Dikarenakan menunjukkan keberhasilan, kemudian keluarlah Undang-Undang Darurat No 13 Tahun 1948 yang dilanjutkan dengan melakukan landreform di Yogyakarta dan Surakarta.

Situasi politik yang tidak menentu, seperti agresi militer Belanda I dan II pada akhir tahun 1948, terjadinya perubahan negara menjadi Republik Indonesia Serikat, keluarnya Dekrit Presiden yang mengembalikan bentuk negara NKRI dan sistem pemerintahan parlementer, jatuh bangunnya parlemen pada tahun 1950-an, maupun pemberontakan-pemberontakan di daerah, seperti pemberontakan DI/TII, Permesta dan lainnya.

Seluruh persoalan tersebut tentunya cukup mempengaruhi proses lahirnya UUPA. Namun secara substansi, kelahiran undang-undang tersebut pada saat itu cukup mendapat tanggapan yang positif dari beberapa aliran politik yang terideologis, terutama oleh Partai Komunis Indonesia, karena dengan adanya undang-undang tersebut maka sisa-sisa kapitalisme, terutama penguasaha-pengusaha dan pemerintah kolonial maupun asing tidak lagi menguasai sumber-sumber hidup rakyat.

Dukungan partai politik, antara lain dari Partai Komunis Indonesia dan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan NU menjadi kekuatan bagi pemerintah untuk melaksanakan landreform. Dukungan dari organisasi-organisasi yang terideologis bukan hanya sampai disitu. Pada tahun 1946 sudah dilakukan sebuah gerakan yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pencerabutan kekuatan kapital bersama penguasa-penguasa lokal sebagai representasi dari kekuatan feodal, terutama di Sumatera Timur, antara lain dengan meruntuhkan beberapa kerajaa kecil. Proses penghancuran tersebut dikenal dengan revolusi sosial yang terjadi pada tanggal 3 Maret 1946 yang mengakibatkan Kesultanan Langkat, Kesultanan Serdang dan Deli, Kesultanan Asahan maupun raja-raja di Simalungun, dan Labuhan Batu.

Besarnya kekuatan yang mendukung revolusi sosial dan pembaharuan secara radikal sistem penguasaan, pemilikan dan pengelolaan tanah tersebut semakin memperkuat pemerintah mengeluarkan UUPA. Melalui Front Nasional yang dibentuk oleh Soekarno pada tahun 1950-an mobilisasi semakin menguat sehingga rakyat, terutama petani di Sumatera Timur mendapat dukungan oleh pemerintah untuk memanfaatkan lahan yang ditinggalkan oleh perkebunan-perkebunan dan membuka lahan-lahan baru untuk pertanian.

Walaupun pada saat itu negara dalam keadaan labil dimana sistem pemerintahan yang belum rapi dan efisien, jatuh bangunnya kabinet, dan kemunculan beberapa pemberontakan di daerah, namun secara prinsip pemerintah memiliki kemauan politik yang sangat jelas dalam mendorong berlangsungnya landreform dan agrarian reform. Namun sayangnya niat dan kemauan politik tersebut terpaksa pelan-pelan mulai melemah ketika berlangsung Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Selain menyetujui penyerahan kedaulatan dan rencana pengembalian Irian Barat, ternyata KMB menghasilkan kesepakatan tentang perkebunan-perkebunan milik swasta Belanda yang telah diduduki rakyat untuk dikembalikan kepada Belanda. Tentu saja pasal ini bertolakbelakang dengan statement-statement politik pemerintah sebelumnya yang serius akan melakukan reformasi agraria.

Keterikatan Indonesia terhadap KMB kemudian mengalami perubahan ketika Indonesia yang sebelumnya bernama Republik Indonesia Serikat berubah kembali menjari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam waktu yang tidak begitu lama setelah KMB. Namun perubahan tersebut hanya dalam hal bentuk negara, sedangkan kesepakatan-kesepakatan lain tidak mengalami perubahan. Hal inilah yang kemudian memancing pemberontakan di beberapa daerah, sehingga tetap tidak bisa membuat stabil negara.

Pemerintah yang sebelumnya sudah terikat dalam KMB kembali menguatkan rencana perubahan agraria dan penguatan ekonomi melalui sektor pertanian. Bersamaan dengan itu juga, pemerintah merasa Belanda tidak konsisten dengan kesepakatan tentang pengembalian Irian Barat pasca jajak pendapat. Setelah 7 tahun KMB Irian Barat tetap tidak dikembalikan ke Indonesia sehingga memancing pembatalan sepihak. Salah satu tindakan lanjutan dari pembatalan sepihak tersebut adalah menasionalisasi perkebunan-perkebunan yang kemudian ternyata pengelolaannya diambil alih oleh militer.

Lahirnya UUPA pada tahun 1960 yang pada saat itu cukup berpihak kepada rakyat ternyata tidak banyak membawa perubahan yang berarti sesuai dengan tujuan awal pembuatan undang-undang tersebut. Hal itu dibuktikan dengan minimnya aturan-aturan pelaksanaan yang sangat menentukan landreform dan agrarian reform dapat dilakukan. Menurut beberapa ahli yang pernah melakukan penelitian pada saat itu, landreform sangat sulit untuk dilakukan disebabkan beberapa hal, antara lain kendala birokrasi yang masih sangat rumit, pengetahuan tentang keagrariaan yang belum mencukupi, penguasaan aparat tentang hukum agraria yang masih minim, penjelasan detail mengenai proses landreform yang belum lengkap maupun tidak konsistennya peraturan pelaksanaan yang telah dibuat.

Periode tahun 1960 sampai dengan 1965 pasca keluarnya UUPA merupakan periode dimana pemerintah mencoba meletakkan dasar landreform. Tingginya kemauan politik pada saat itu untuk melakukan landreform dan agrarian reform sebenarnya cukup tinggi. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh rejim Soekarno pada saat itu adalah Undang-Undang Landreform No. 56 Tahun 1960 yang salah satu isinya adalah mendistribusikan tanah maksimal 29 Ha untuk setiap kepala keluarga petani. Namun kebijakan tersebut terus mendapat kritik karena tidak menyentuh aspek lainnya, seperti perkebunan, kehutanan, pertambangan dan kelautan.

3.1. Dua Periode Masa Permasalahan Pertanahan

Boleh dikatakan pemerintah pada masa pasca kemerdekaan sampai sebelum 1965 memiliki kemauan politik yang cukup tinggi terhadap landreform dan reforma agraria. Hal itu dibuktikan dengan terbentuknya tim atau panitia agraria yang merumuskan undang-undang pokok agraria, dilakukanya reformasi agraria skala kecil di beberapa wilayah di Jawa, keluarnya gagasan-gagasan revolusi sosial dan politik yang selaras dengan prinsip-prinsip reforma agraria dan kemudian akhirnya dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960.

Seluruh indikator tersebut menjadi penanda bahwasannya secara prinsip pemerintah memiliki kemauan melakukan reforma agraria. Kekuatan politik pada saat itu juga cukup mendukung, dimana ideologi sosialisme dan komunisme mendapat tempat dalam sistem politik. Masyarakat juga memiliki kesempatan yang cukup besar untuk berpartisipasi dalam bidang politik dan mengambil bagian dalam perjuangan-perjuangan yang digariskan oleh masing-masing kekuatan, terlepas dari ideologi yang dianut. Kebebasan berpartisipasi dalam bidang politik dan memilih pilihan ideologis tersebutlah kemudian yang mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan-perlawanan di daerah, baik menyangkut perebutan kekuasaan politik dan pendudukan tanah di daerah-daerah.

Tentu saja kemauan politik pemerintah pada saat belum dapat dilaksanakan diakibatkan beberapa kendala politik dan teknis, seperti rumitnya birokrasi, minimnya pengetahuan tentang mekanisme reforma agraria, situasi politik yang tidak stabil akibat sistem pemerintah yang belum solid, munculnya pemberontakan-pemberontakan di daerah maupun masih besarnya kepentingan modal yang pada saat itu mencoba menancapkan kembali kekuatannya. Namun di tingkat rakyat tindakan-tindakan penguasaan dan pendudukan lahan telah dijalankan dengan perlindungan aturan yang masih minim.

Pada masa sebelum Indonesia kerja-kerja pendudukan lahan juga sudah dilakukan oleh rakyat, terutama oleh buruh-buruh perkebunan yang bekerja di perusahaan perkebunan yang telah ditingalkan oleh Belanda dan swasta asing. Masa tiga tahun pendudukan Jepang memang benar-benar dimanfaatkan oleh rakyat untuk menduduki lahan, disamping memang rejim fasis Jepang pada saat itu memberi toleransi yang cukup besar terhadap rakyat yang mencoba menguasai tanah untuk kepentingan pertanian. Perkembangan sosial politik seperti itulah yang kemudian menimbulkan kekhawatiran pihak-pihak pengusaha perkebunan, sehingga pasca kekalahan Jepang, Belanda dan pengusaha perkebunan yang menguasai tanah jumlah besar mencoba melindungi perkebunan-perkebunan mereka, salah satunya dengan meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menjamin keberadaan tanah dan perkebunan mereka.

Rejim Soekarno memang memiliki kemauan politik yang cukup tegas untuk menjalankan reforma agraria. Beberapa kebijakan politik juga sudah coba digulirkan sebagai pedoman dijalankannya reforma agraria, antara lain Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah Partikelir, maupun Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Namun diakui pada saat itu pemerintah juga cukup moderat karena mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1958 tentang penyelesaian masalah tanah-tanah perkebunan yang digarap oleh rakyat, Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1953 tentang penyerahan pengelolaan tanah negara kepada menteri dalam negeri maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1952 tentang pemindahan hak-hak barat baik berupa tanah maupun benda.

Kebijakan-kebijakan yang disebut terakhir tampaknya jika dilihat dari semangat landreform yang mulai dicanangkan pada tahun 1946 sudah mulai melemah. Semangat landreform dan agrarian reform, kebencian dan penolakan terhadap kapitalisme dan imperealisme mulai mengendur. Hal ini ada hubungannya dengan tekanan-tekanan dunia internasional melalui konferensi meja bundar dan kelihaian perusahaan-perusahaan perkebunan non Belanda yang mencoba bernegosiasi dengan rejim Soekarno. Jika ditarik sedikit ke belakang, mulai awal tahun 1950 lah pihak-pihak perkebunan yang pernah angkat kaki dari Indonesia mulai memberanikan diri untuk memasuki lahan-lahan perkebunan mereka. Pada saat itu jugalah berbagai gejolak politik berupa pemberontakan-pemberontakan di beberapa daerah kerap terjadi. Pemerintah kemudian disibukkan dengan aksi-aksi pemadaman pemberontakan yang memakan banyak biaya dan konsentrasi, sehingga reforma agraria akhirnya terhenti dengan lahirnya UUPA Tahun 1960.

3.2. Babak Baru Politik Pertanahan di Indonesia

Dua periode penting peletak dasar politik pertanahan di Indonesia, sekaligus menjadi sumber konflik pertanahan yang marak terjadi saat ini. Kini, sebelum akar persoalan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan penguasaan dan pengelolaan tanah, pemerintah mulai membangun babak baru yang tidak kalah pentingnya dengan apa yang sudah terjadi pada periode-periode sebelumnya.

Babak baru yang dimaksud pun tampaknya memiliki bermacam-macam wajah. Satu sisi memperlihatkan wajah populis dengan nama program redistribusi tanah atau landreform yang rencananya akan membagi-bagikan kurang lebih 8,15 Ha di seluruh Indonesia yang ditujukan terutama untuk petani-petani miskin. Rencana ini pun mulai dirancang di beberapa Kabupaten, antara lain di Kabupaten Asahan dan Serdang Bedagai. Namun sampai sekarang rancangan tersebut sama sekali tidak diketahui masyarakat. Tanpa melibatkan rakyat, pemerintah daerah mulai membicarakan proses redistribusi tanah yang secara nasional ditangani oleh BPN, Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan.

Program populis yang sebenarnya bisa menaikkan pamor pemerintah pun mulai dijalankan. Di Kabupaten Asahan, ada satu kasus sengketa, yakni antara masyarakat di Desa Gajah dengan perusahaan perkebunan bernama PUSKOPAD. Walau merupakan hasil perjuangan rakyat, namun kurang lebih 590 Ha tanah sudah dikuasai oleh rakyat dan dilanjutkan dengan proses sertifikasi dibantu Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Asahan. Namun sayangnya kebijakan tersebut tidak banyak diketahui oleh rakyat dan belum menyentuh persoalan terbesar yang saat ini terjadi, yakni tanah-tanah sengketa antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan.

Sebelum rencana tersebut dijalankan secara luas, kini pemerintah sudah berencana akan mengeluarkan kebijakan baru tentang Undang-Undang Penanaman Modal, Undang-Undang ketenagakerjaan dan Undang-Undang perpajakan. Ketiga undang-undang tersebut dilatarbelakangi oleh usaha perbaikan investasi sehingga menjadikan Indonesia sebagai surga bagi investor. Upaya-upaya tersebut semakin kuat ketika salah satu komoditi perkebunan, yakni kelapa sawit mengalami lonjakan yang luarbiasa karena menjadi bahan utama bahan bakar nabati maupun produk-produk lanjutan kelapa sawit.

Saat ini malah hampir seluruh pihak sudah gonjang ganjing tentang besarnya keuntungan yang diperoleh negara dan pemodal untuk pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit. Semua orang mulai memprediksi besaran pendapatan dan pertumbuhan ekonomi yang didapat jika pemerintah membuka lebar-lebar investasi perkebunan kelapa sawit. Menurut pemerintah, pertumbuhan kelapa sawit Indonesia tahun 2010 akan mencapai 18 juta ton pertahun, sehingga untuk mencapai target tersebut maka harus ada perluasan lahan perkebunan 10 sampai 20% di tiap-tiap daerah, antara lain di Sumatera Utara, Jambi, Riau, Papua, kepulauan Riau, Kalimantan dan Sulawesi.

Rencana tersebut nampaknya sangat serius dijalankan pemerintah. Sebagai buktinya, mulai tahun 2006 pemerintah jor joran memunculkan program revitalisasi perkebunan dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang mendukung program tersebut, antara lain:

  1. Peraturan Menteri Pertanian No.33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan.

  1. Keputusan Menteri Pertanian No. 490/Kpts/OT. 160/8/2006 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pelaksanaan Program Revitalisasi Perkebunan.

  1. Peraturan Menteri Keuangan No. 117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan.

  1. Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan No. 03/Kpts/RC.110/1/07 tentang Satuan Biaya Pembangunan Kebun Peserta Program Revitalisasi Perkebunan Tahun 2006/2007.

Selain mengeluarkan kebijakan-kebijakan teknis tersebut, pemerintah juga sudah mencoba mengutak-atik kebijakan yang lebih umum, salah satunya adalah Undang-Undang Penanaman Modal. Walaupun mulai tahun 1998 sudah diperbincangkan, kebijakan memperpanjang HGU, dari yang saat ini hanya 25 sampai 30 tahun, menjadi 60 tahun dan dapat diperpanjang 45 tahun. Tentu saja rencana ini langsung mendapat penolakan dari kalangan lembaga swadaya masyarakat yang melihat kebijakan tersebut sangat sarat dengan kepentingan modal yang berusa melindungi kepentingan mereka akan investasi di Indonesia.

Bukan hanya berencana akan memperpanjang masa kontrak HGU, pemerintah juga mengeluarkan beberapa jurus agar revitalisasi perkebunan dijalankan. Pemerintah sekarang membuka lebar-lebar lembaga-lembaga keuangan internasional, Bank Swasta nasional dan internasional yang berminat membiayai investor perkebunan. Alhasil, puluhan perbankan internasional dan nasional pun mulai menyatakan minatnya, seperti Bank BRI yang akan menyalurkan kredit Rp. 12 triliun, Bank Mandiri RP. 11 Triliun, Bank Bukopin Rp. 1 triliun, dan bank-bank pembangun daerah lain.

Pemerintah benar-benar sangat total dalam mengembangkan perkebunan, selain mengeluarkan payung hukum melindungi dan memfasilitasi pengembangan perkebunan, membuka lebar kepada pihak perbankan yang akan membiayai revitalisasi perkebunan, pemerintah juga berencana akan memperpanjang waktu HGU hingga menjadi 100 tahun lebih dengan alasan menciptakan keamanan investasi bagi seluruh penanam modal di bidang perkebunan. Untuk mengimbangi hal tersebut, pemerintah juga menggulirkan beberapa program yang terkesan populis, yakni melakukan pensertifikasian tanah kepada rakyat dengan berbagai sumber pembiayaan, melakukan redistribusi tanah, dan mengoptimalisasikan peran-peran pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional dalam membangun ketertiban penguasaan dan pengelolahan tanah.

Sayangnya kebijakan penciptaan investasi perkebunan dan penciptaaan keadilan sistem penguasaan dan pengelolaan tanah tersebut saling kontradiktif satu sama lain. Padahal, tanpa program redistribusi tanah, pemerintah sebenarnya punya banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan, yakni penyelesaian tanah sengketa tanah rakyat dengan pihak perkebunan yang sudah berlangsung puluhan tahun tanpa ada kejelasan. Tentu saja kebijakan ini malah menimbulkan polemik baru yang lebih besar tanpa memberi kejelasan tentang kasus-kasus sengketa yang dihadapi rakyat.


IV. Situasi Umum Pertanahan di Kab. Asahan dan Labuhan Batu

4.1. Gambaran Umum Wilayah

Dua wilayah Kabupten di Sumatera Utara yang dari sisi sejarah maupun sampai saat ini menjadi sentra perkembangan perkebunan adalah Kabupaten Asahan (yang sekarang dipecah menjadi dua, yakni Kabupaten Asahan dan Kabupaten Batubara) dan Kabupaten Labuhan Batu. Berdasarkan catatan sejarah, dua kabupaten tersebut termasuk kawasan cuulturgebeid atau wilayah sabuk perkembangan industri perkebunan Belanda, selain Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagei. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan perkebunan peninggalan Belanda yang saat ini menjadi perusahaan perkebunan milik negara (PTPN II, PTPN III dan PTPN IV) maupun perusahaan asing milik eropa dan Amerika Serikat yang diantaranya diwakili oleh PT Socfindo, PT London Sumatera, PT Bakrie Sumatera Plantation, dan sebagainya.

Kini Ada ratusan perusahaan perkebunan di dua Kabupaten tersebut. Menurut rekapitulasi sementara, di Kabupaten Asahan saja saat ini terdapat kurang lebih 100 perkebunan diluar perkebunan milik rakyat dan milik pribadi. Rata-rata perusahaan tersebut adalah perkebunan kelapa sawit dan karet dengan luas lahan antara 500 sampai dengan 20.000 Ha. Belum lagi di Kabupaten Labuhan Batu yang juga merupakan salah satu kawasan potensial pengembangan perkebunan.

Secara geografis, wilayah Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu umumnya bertopografi dataran, sedikit berbukit dan hanya sebahagian kecil yang bertopografi perbukitan dan pergunungan. Hampir sama dengan Kabupaten Labuhan Batu, letak dataran di Kabupaten Asahan sebahagian besar berada di antara 0 sampai dengan 100 meter di atas permukaan laut, dan hanya sedikit, yakni di sekitar bagian barat yang berada 100 meter di atas permukaan laut, sehingga kawasan ini memang cukup memungkinkan untuk menjadi kawasan perkebunan sehingga tidak membutuhkan biaya yang besar berinvestasi di bidang pertanian monokultur.

Demikian juga dari sisi klimatologi. Curah hujan di dua kabupaten tersebut rata-rata 100 sampai dengan 120 hari dalam satu tahun atau 1500 sampai 1800 mm per tahun. Berdasarkan data tersebut, maka Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu cenderung daerah dengan curah hujan normal, dan dalam sejarah memang tidak pernah mengalami musim kering berkepanjangan, malah di kawasan sekitar pesisir menjadi wilayah langganan banjir. Disebabkan berbatasan dengan daerah tanggapan air (catchment area) Danau Toba di sebelah barat, maka dua Kabupaten ini mendapat keuntungan, karena dialiri oleh beberapa sungai besar, antara lain sungai Barumun, Sungai Bilah, Sungai Merbau di Labuhan Batu, Sungai Asahan, Sungai Silau dan sungai-sungai kecil lain di Asahan.

Topografi yang sebahagian besar dataran rendah namun berbatasan dengan daerah perbukitan dan pergunungan di sebelah barat yang dekat dengan daerah tangkapan air Danau Toba menjadikan dua kabupaten ini memiliki beberapa daerah aliran sungai besar yang diidentifikasi menjadi penentu kesuburan tanah, yakni Daerah Aliran Sungai (DAS) Silau, DAS Asahan, DAS Kualuh, DAS Bilah dan DAS Barumun, sehingga kehancuran dua Kabupaten ini ditentukan oleh kerusakan sungai-sungai dan hutan yang berada di atas DAS tersebut.

Di sebelah timur dua kabupaten tersebut dikenal sebagai kawasan dataran rendah yang kaya akan keanekaragaman hayati dan secara ekologis merupakan daerah serapan air, seperti hutan mangrove, rawa pasang surut, dan gambut. Walaupun bukan merupakan kawasan dengan luas hutan mangrove dan gambut terbesar di Sumatera Utara, namun di dua kabupaten tersebut fungsi rawa, gambut dan hutan bakau sangat vital sebagai kawasan penyeimbang di timur sebagai sumber air utama. Namun saat ini jumlah hutan mangrove dan gambut di dua kabupten tersebut semakin lama semakin menipis akibat konversi lahan untuk perkebunan yang berlangsung sangat cepat.

Secara demografis jumlah masing-masing penduduk sudah mencapai satu juta orang dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 0,58% pertahun dan tingkat kepadatan penduduk rata-rata 214 orang per kilo meter per segi. Secara kultural, sebahagian besar penduduk di Kabupaten Asahan Adalah etnis Jawa, disusul suku Batak, Melayu dan lainnya, sedangkan di Kabupaten Labuhan Batu komposisinya lebih merata, karena daerah Labuhan Batu tergolong kawasan yang perkembangannya kemudian setelah Kabupaten Asahan, sehingga tingkat migrasi masuk yang cukup besar.

Berdasarkan agama, mayoritas di dua kabupaten tersebut adalah agama islam mencapai lebih dari 75%, sedangkan sisanya adalah Protestan, Budha, Hindu dan lainnya. Namun jika diteliti berdasarkan data lapangan, dari sejarah proses migrasi masuk ke dua kabupeten tersebut terbentuk satu pola permukiman yang cenderung berkelompok berdasarkan etnis dan agama kecuali di permukiman perkebunan. Di dataran tinggi, yang wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, Toba Samosir dan Tapanuli Utara yang berbatasan secara langsung dengan Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu, penduduknya sebahagian besar beragama Kristen dan Batak, sedangkan yang tinggal di kawasan timur, khususnya dataran rendah dan pesisir adalah Melayu dan etnis lain yang beragama Islam.

Penggunaan lahan di dua kabupaten tersebut sebahagian besar adalah untuk perkebunan monokultur, sedangkan untuk perkebunan campuran, sawah irigasi teknis dan non irigasi, permukiman, hutan, padang/semak/belukar, perairan darat, tanah kering/tegalan dan sebagainya masing-masing jauh di bawah peruntukan perkebunan. Seperti di Kabupaten Asahan. Untuk perkebunan monokultur penggunaan lahan paling besar adalah untuk perkebunan monokultur yakni sebesar lebih dari 30% sedangkan tanah tegalan atau tanah kering hanya 3% dari total penggunaan lahan.

Kondisi di Kabupaten Labuhan Batu juga tidak jauh berbeda dengan di Kabupaten Asahan. Malah di Kabupaten Labuhan Batu potensi konversi hutan, rawa, tanah kering, lahan gambut dan sebagainya untuk perkebunan monokultur masih lebih besar, sehingga persentase penggunaan lahan untuk perkebunan akan semakin besar. Kecenderungan seperti inilah yang dikhawatirkan akan semakin merusak sistem ekologis dua kabupaten tersebut. Apalagi pada saat ini beberapa program pemerintah tentang revitalisasi perkebunan semakin gencar dilakukan sehingga akan semakin mengancam keberadaan hutan dan penggunaan lahan untuk pertanian, keberadaan lahan gambut, rawa dan sebagainya.


4.2. Sengketa Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran secara umum tentang sengketa pertanahan di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Dua kabupaten ini dipilih dengan beberapa pertimbangan, diantaranya; di dua kabupaten tersebut selama ini dikenal sebagai wilayah dengan tingkat sengketa pertanahan yang cukup tinggi, minimnya proses penyelesaian sengketa pertanahan yang berlangsung di tempat tersebut, dinamika perjuangan rakyat yang tinggi, banyaknya perusahaan-perusahaan perkebunan dan sejarah konflik yang panjang karena terkait dengan masa kolonialisme dan seluruh pergantian rejim politik yang pernah terjadi.

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebutlah kemudian sengketa pertanahan di dua kabupaten tersebut menjadi salah satu fokus dalam penelitian ini.

4.2.1. Gambaran Umum Konflik Pertanahan

Berdasarkan dari hasil rekapitulasi berbagai sumber, baik dari DPRD Kabupaten dan beberapa kelompok perlawanan, di Kabupaten Asahan saja pada saat ini terdapat lebih dari 136 kasus pertanahan dengan luas tanah sengketa lebih dari 30.000 hektar, melibatkan lebih dari 30.000 kepala keluarga atau sekitar 100.000 orang dan terjadi di seluruh Kecamatan di Kabupaten Asahan. Jumlah kasus tersebut hanyalah sengketa pertanahan yang pernah tercatat di Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Asahan, ataupun yang pernah diadukan oleh masyarakat ke dewan legislatif maupun pemerintah Kabupaten Asahan.

Sayangnya tidak seluruh 136 kasus tersebut yang tercatat, hanya 123 kasus yang dapat diidentifikasi. Demikian juga dengan di Kabupaten Labuhan Batu. Menurut catatan, di Kabupaten Labuhan Batu pada tahun 2000 terdapat konflik lahan sebanyak 100 sengketa pertanahan, namun dari jumlah kasus sengketa pertanahan tersebut, hanya sebahagian kecil yang muncul ke permukaan karena adanya proses penguatan dan publikasi dari organisasi non pemerintah, sedangkan kasus lainnya tanpa proses sama sekali.

Berdasarkan identifikasi langsung di lapangan ditambah dengan data-data yang diperoleh dari kelompok-kelompok petani, secara riil pada saat penelitian dilakukan telah diperoleh angka 122 kasus. Sengketa pertanahan terjadi di 16 Kecamatan dari 19 Kecamatan di Kabupaten Asahan, yakni: Kecamatan Bandar Pulo, Kecamatan Buntu pane, Kecamatan Sei Kepayang, Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Kecamatan Sei Suka, Kecamatan Air Putih, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Air Joman, Kecamatan Limapuluh, Kecamatan Medang Deras, Kecamatan Aek Kuasan, Kecamatan Pulau Rakyat, Kecamatan Meranti, Kecamatan Sei Balei, Kecamatan Tanjung Tiram, dan Kecamatan Air Batu. Sedangkan Kecamatan Kisaran Timur, Kecamatan Kisaran Barat, Kecamatan Tanjung Balai dan Kecamatan Talawi belum diperoleh informasi.

Boleh dikatakan data yang diperoleh dari proses penelitian lapangan cukup menjadi dasar bahwasannya kompleksitas persoalan pertanahan di Kabupaten Asahan maupun Labuhan Batu cukup tinggi dan melibatkan pihak-pihak yang selama ini punya peran besar menghancurkan ekonomi rakyat. Dari proses analisis data, kecamatan dimana sengketa paling banyak adalah di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, yakni untuk sementara mencapai 22 kasus, kemudian di Kecamatan Bandar Pulo sebanyak 15 kasus dan di Kecamatan Buntu Pane sebanyak 14 kasus. Berikut data jumlah kasus sengketa tanah berdasarkan kecamatan.

Jumlah Kasus Berdasarkan Kabupaten Asahan

Kecamatan

Jumlah Kasus

Kec. Aek Kuasan

4

Kec. Air Batu

7

Kec. Air Joman

3

Kec. Air Putih

4

Kec. B.P.Mandoge

22

Kec. Bandar Pulo

15

Kec. Buntu Pane

14

Kec. Limapuluh

8

Kec. Medang Deras

1

Kec. Meranti

3

Kec. Pulau Rakyat

8

Kec. Sei Balei

3

Kec. Sei Kepayang

5

Kec. Sei Suka

2

Kec. Simpang Empat

8

Kec. Tanjung Tiram

1

Blm teridentifikasi

15

Total

123

Berdasarkan data di atas kita bisa menyimpulkan beberapa hal. Pertama, kasus pertanahan paling banyak memang terjadi di kecamatan yang secara geografis paling luas di Kabupaten Asahan, seperti Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Kecamatan Bandar Pulo, dan Kecamatan Buntu Pane. Kecamatan Bandar Pulo sendiri adalah Kecamatan yang wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu, sedangkan Kecamatan Buntu Pane berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, sedangkan Kecamatan Bandar Pasir Mandoge berbatasan dengan Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Tapanuli Utara.

Kesimpulan kedua adalah tentang karakteristik wilayah beberapa kecamatan dimana jumlah konflik sangat tinggi. Kecamatan Bandar Pulo, Bandar Pasir Mandoge, Buntu Pane, Pulau Rakyat dan beberapa Kecamatan lainnya adalah wilayah kecamatan dengan jumlah perusahaan perkebunan yang cukup banyak dan jauh dari Kota Kabupaten. Sebagai contoh adalah Kecamatan Bandar Pasir Mandoge dan Bandar Pulo yang berjarak lebih dari 40 km dari Kota Kisaran, dan yang ketiga adalah, bahwasannya wilayah konflik tertinggi adalah Kecamatan yang bukan daerah pesisir seperti Kecamatan Tanjung Tiram, Kecamatan Medang Deras, Kecamatan Air Joman dan Kecamatan Tanjung Balai yang wilayahnya berbatasan secara langsung dengan selat Malaka.

Saat penelitian dilakukan memang data secara detail tentang jumlah perkebunan di Kabupaten Asahan belum dapat diperoleh. Namun di Kabupaten Asahan jumlah perusahaan perkebunan didominasi oleh perkebunan swasta Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN). Rata-rata perusahaan perkebunan PMDN bukanlah perusahaan-perusahaan yang telah lama berdiri, karena sebahagian besar berdiri pada tahun 1970-an. Walaupun begitu ada juga beberapa PMDN yang memiliki sejarah panjang karena asal usul perusahaan adalah milik perusahaan-perusahaan asing milik eropa dan Amerika Serikat, seperti PT Bakrie Sumatera Plantation yang sebelumnya adalah perusahaan milik Amerika Serikat.

Berdasarkan karakteristik jenis perusahaan perkebunan, konflik pertanahan yang terjadi di Asahan adalah perusahaan perkebunan Penanam Modal Dalam Negeri atau swasta dalam negeri. Menurut data sementara, dari 122 kasus yang terjadi di Asahan, ada 82 sengketa yang terjadi antara masyarakat, terutama petani dengan Perusahaan Perkebunan PMDN, sedangkan kasus yang dihadapi oleh Penanam Modal Asing (PMA) sebanyak 9 kasus. Berikut data lengkap tentang kasus sengketa pertanahan berdasarkan jenis kepemilikan lahan.

Jenis Kepemilikan

Jumlah

%

PMDN

83

67,3

Individu

13

10.7

BUMN

12

9.8

PMA

9

7,4

Yayasan

3

2,5

Perusahaan Pemda

3

2,5

Total

123

100

Jelas berdasarkan data tersebut, sengketa tanah paling banyak berlangsung di perusahaan Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN), yakni 67% dari total sengketa yang terjadi di Kabupaten Asahan. Tentu saja data ini belum termasuk potensi sengketa yang selama ini masih terpendam akibat ketidakberanian ataupun ketiadaan pengetahuan masyarakat terhadap alas hak yang dimiliki perusahaan maupu hak sah yang dipunyai masyarakat. Demikian juga dengan sengketa tanah yang terjadi pada kepemilikan tanah individu, BUMN, Penanam Modal Asing (PMA), yayasan maupun perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah daerah, khususnya propinsi.

Tingginya jumlah sengketa di tiap-tiap perusahaan tersebut ternyata juga tidak tergantung pada banyaknya kebun atau estate masing-masing perusahaan. Salah satu contoh adalah PT Sari Persada Raya (PT SPR) yang berlokasi di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge dan PT Asian Agri yang merupakan salah satu anak perusahaan bidang perkebunan milik Raja Garuda Mas (RGM. Walaupun PT SPR hanya memiliki satu estate, namun sengketa tanah yang dihadapi oleh perusahaan tersebut ada 11 kasus, sedangkan di PT Socfindo yang memiliki 8 estate di Kabupaten Asahan terjadi lebih sedikit yakni sebanyak 8 kasus. Data ini tentunya tidak menggambarkan bahwasannya potensi konflik di PT Socfindo lebih rendah, karena kemungkinan-kemungkinan terungkapnya sengketa tanah sangat besar kemungkinan terjadi.


Jumlah Kasus Sengketa Tanah Berdasarkan Perusahaan

Nama Perusahaan

Jumlah Kasus

PT Asian Agri

18

PT BSP

6

PT EMHA

1

PT Inti Palm Sumatera

1

PT JBP

1

PT Karetia dan PT Sijabut

1

PT Kwala Gunung

1

PT Lonsum

2

PT Padasa Enam Utama

10

PT Paduan Karya

2

PT PSU

3

PT Sijabut

1

PT Socfindo

8

PT SPR

11

PT Tinggi Raja

1

PTPN III

5

PTPN IV

7

PUSKOPAD

4

Satu hal yang menjadi catatan adalah bahwasannya sengketa yang terjadi di PT SPR memiliki karakteristik tersendiri sehingga jumlah sengketa yang terjadi sangat tinggi. Wilayah HGU dan kelebihan HGU PT SPR selama ini telah mengambil lahan Hutan Lindung Tormatutung yang termasuk register 1/A seluas 1300 Ha. Sementara di sekitar kawasan hutan lindung tersebut juga berdiam banyak komunitas-komunitas setempat yang sudah lama mendiami dan membuka lahan untuk pertanian. Berdasarkan realitas tersebut, maka PT SPR melanggar dua hal, pertama melakukan perambahan terhadap hutan yang dilindungi negara dan juga melanggar hak-hak komunitas lokal yang hidup lama berdampingan dengan tanah dan hutan.

Sebahagian besar kasus sengketa tanah yang terjadi di Asahan maupun di Kabupaten Labuhan Batu adalah kasus-kasus perampasan tanah miliki rakyat yang telah dikelola sejak periode tahun 1942 sampai tahun 1965. Kasus-kasus sengketa periode ini sarat dengan muatan politis, karena kebanyakan petani adalah berasal dari organisasi massa dan politik terideologis yang kemudian mendapat intimidasi jika tidak bersedia menyerahkan tanahnya kepada pemerintah dan perusahaan. Tipe sengketa kedua adalah yang terjadi di atas tahun 1965 ke atas hingga saat ini. Pada periode ini, ada dua jenis akar konflik yang terjadi, yakni terkait dengan perampasan tanah rakyat yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah, pendudukan tanah terlantar di luar HGU perusahaan, manipulasi tanah PIR yang kemudian dikuasai oleh pejabat-pejabat dan perusahaan, penguasaan tanah ulayat, dan perambahan hutan.

Persoalan tanah di Asahan dan Labuhan Batu juga tidak selalu terkait dengan perusahaan perkebunan swasta dan milik negara, sengketa masyarakat dengan individu, pihak yayasan dan koperasi juga tidak sedikit jumlahnya. Bahkan di banyak tempat, penguasaan perkebunan milik pribadi juga mulai banyak muncul ke permukaan. Di Asahan dan Labuhan Batu, usaha keluarga atau pribadi yang tidak memiliki HGU bisa memiliki tanah lebih dari 10 Ha, bahkan ada yang mencapai 500 Ha sampai dengan 1000 Ha, seperti terjadi di Kecamatan Aek Loba dan Bandar Pulau. Namun sengketa antara masyarakat dengan tanah milik pribadi tersebut masih belum banyak terjadi, karena sebahagian besar tanah pribadi tersebut dibeli secara sah, walaupun sebenarya sudah menyalahi Undang-Undang Pokok Agraria yang tidak memperbolehkan kepemilikan pribadi lebih dari 2 Ha.

Keterlibatan pejabat-pejabat dalam sengketa tanah juga cukup banyak. Di beberapa tempat, kalangan mantan pejabat, pejabat yang masih aktif dari Departemen Perhubungan, Kantor Pemda, Kepolisian dan lainnya juga berperan dalam sengketa lahan. Di Kecamatan Bandar Pulau, beberapa pejabat dan mantan pejabat ada yang membeli tanah dengan harga murah dari perusahaan perkebunan yang sebelumnya telah bersengketa dengan rakyat. Di Bandar Pasir Mandoge, malah dua perusahaan, yakni PT BSP dan PT JBP, para pejabat malah menjadi anggota petani yang ikut dalam pola PIR, padalah sebelumnya tanah tersebut dimiliki oleh rakyat yang kemudian dibeli oleh para pejabat. Tanah yang sebelumnya menjadi bagian program PIR kemudian dikuasai perusahaan dan kondisi terakhir menjadi bagian HGU perusahaan perkebunan.


4.2.2. Akar Konflik Pertanahan

Secara umum akar sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten Asahan dan juga Labuhan Batu terbagi atas beberapa jenis, yakni:

  1. Perampasan oleh perusahaan terhadap tanah penampungan masyarakat
  2. Pengambilalihan tanah rakyat di luar HGU perusahaan
  3. Perampasan tanah milik syah masyarakat
  4. Penyelewengan pengukuran pada saat awal memperoleh HGU
  5. Penggarapan lahan tidur bukan HGU perusahaan oleh masyarakat
  6. Perambahan hutan lindung untuk perkebunan
  7. Penolakan pembukaan perkebunan oleh masyarakat
  8. Pengambilalihan lahan PIR milik masyarakat oleh perusahaan
  9. Manipulasi perluasan HGU pada saat perpanjangan atau sebelum perijinan baru
  10. Pengambilalihan tanah milik komunitas ulayat
  11. Penyalahgunaan perjanjian penggunaan tanah untuk perkebunan milik masyarakat oleh perusahaan perkebunan

Sengketa tanah yang terjadi di Propinsi Sumatera Utara, khususnya wilayah sabuk industri perkebunan jaman Belanda, seperti Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Asahan, sebahagian Simalungun, Serdang Bedagai dan Labuhan Batu sebahagian besar adalah sengketa warisan jaman kolonial, pendudukan Jepang dan orde kepemimpinan Soekarno. Akar konflik type seperti ini tergolong yang paling rumit sekaligus sulit mencapai titik temu antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Salah satu contohnya adalah yang terjadi antara Kelompok Tani Penampungan Desa Sengon Sari Kecamatan Aek Kuasan dengan PT Socfindo Aek Loba.

Sejak tahun 1947 sekitar 250 masyarakat sudah melakukan penggarapan tanah terlantar di dusun Aek Nagaga A dan B di Kecamatan Bandar Pulo sampai tahun 1962. Kemudian pada tahun 1962 Kepala Desa Aek Nagaga memberitahukan kepada seluruh petani penggarap bahwasannya pihak perusahaan, yakni Harison (sekarang PT PP London Sumatera Gunung Melayu) akan mengambilalih seluruh lahan yang digarap oleh petani, baik yang berada di Desa Aek Nagaga Afdeling I dan Afdeling II. Pada saat itu masyarakat menolak karena sudah lama mengusahakan lahan yang mereka buka. Pada masa kepemimpinan Soekarno memang ada sebuah peraturan, bahwasannya perusahaan asing yang kembali mengelola perkebunan tidak boleh melanggar hak-hak petani penggarap yang sudah mengelola tanah yang ditinggalkan oleh pihak perkebunan maupun tanah yang memang baru dibuka oleh masyarakat. Berdasarkan aturan tersebutlah kemudian dilakukan musyawarah antara petani penggarap, pemerintah maupun pihak perusahaan. Dikarenakan tidak adanya kesepakatan, kemudian kasus diajukan ke Panitia pertimbangan Landreform di Kabupaten Asahan, yang dilakukan pada saat itu di Kota Tanjung Balai.

Proses yang dijalani melalui panitia landreform akhirnya menghasilkan beberapa kesimpulan, antara lain; pengembalian tanah yang dikuasai oleh masyarakat petani kepada pihak perkebunan, yakni PT PP London Sumatera Kebun Gunung Melayu; petani diberikan tanah pengganti, dimana sebanyak 250 kepala keluarga mendapatkan masing-masing 2 hektar, sehingga total tanah yang diberikan sebagai tanah pengganti adalah 500 Ha. Lokasi tanah pengganti pada saat itu adalah di Desa Batu Ampat Sengon Sari; Ganti rugi tanaman milik masyarakat oleh perkebunan, biaya pindah ditanggung oleh pihak perusahaan.

Ternyata kesepakatan tersebut tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan perkebunan. Dari 250 kepala keluarga yang dijanjikan mendapatkan lahan pengganti, ternyata hanya 65 kepala keluarga yang mendapatkan, itu pun hanya 1 Ha per keluarga, sehingga total tanah pengganti yang dimukimi petani hanya 65 Ha, semenetara 435 Ha lagi belum direalisasikan. Kondisi ternyata semakin rumit ketika pada tahun 1965 terjadi gejolak politik, dan sebahagian besar petani penggarap pada saat itu menjadi anggota sebuah organisasi petani (Barisan Tani Indonesia) yang pada saat itu dikategorikan sebagai organisasi terlarang. Akibatnya banyak petani yang kemudian ditangkap oleh pemerintah berkuasa. Akibat gejolak politik tersebut dan intimidasi yang dilakukan rejim Soeharto, kemudian tindak lanjut dari pemberian lahan pengganti pun tidak dilakukan. Malah pada tahun 1967 PT Socfindo kemudian menduduki dan mengelola tanah pengganti di Desa Batu Ampat Sengon Sari, sehingga 435 Ha yang dijanjikan PT PP Lonsum Gunung Melayu pun beralih ke PT Socfindo.

Kondisi yang hampir bersamaan juga terjadi di Desa Aek Korsik, Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan. Pada tahun 1950-an masyarakat sudah mulai membuka lahan di Desa Aek Korsik dengan jumlah lahan kurang lebih 390 Ha. Dikarenakan sudah lama mengusahai lahan cukup lama, pada tahun 1971 Gubernur Sumatera Utara melakukan proyek landreform dengan memberikan surat Hak Milik kepada masyarakat dengan nomor SK. 78/HM/LR/1971 pada tanggal 21 Agustus 1971 sebanyak 347 persil tanah. Tentu saja pada saat itu masyarakat cukup senang dengan adanya surat tersebut. Namun antara tahun 1972 sampai 1973 masuklah PT Socfindo yang kemudian melakukan perusakan tanaman masyarakat dan membuat batas-batas tanah yang di klaim sebagai HGU perusahaan.

Selama beberapa tahun kemudian masyarakat melakukan perjuangan, antara lain mengadukan penyerobotan tanah tersebut kepada Camat dan Bupati Asahan pada tahun 1973 dan 1984 dan 1998, namun sama sekali tidak mendapat tanggapan. Barulah pada tahun 2000, 2003 dan 2005 pemerintah memberi tanggapan kepada masyarakat dengan melakukan pembuktian di kedua belah pihak, bahkan pada tahun 1998 menurut masyarakat, lahan yang dituntut untuk dikembalikan sudah dikeluarkan dari HGU PT Socfindo Kebun Aek Loba. Pada saat itulah kemudian dilakukan peninjauan lapangan yang dilakukan oleh pihak pemerintah Propinsi Sumatera Utara, BPPN Sumatera Utara, Pemkab Asahan, BPN Kabupaten Asahan dan Camat Aek Kuasan.

Selama beberapa tahun perjuangan berlangsung sama sekali tidak membuahkan hasil. Pada tahun 2006 masyarakat di Aek Korsik bergabung dengan Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR) hingga pada saat ini. Langkah terakhir yang dilakukan adalah telah dilakukan beberapa kali perundingan dengan pihak perusahaan yang ditengahi Pemda Kabupaten Asahan dan Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara. Beberapa kemungkinan pun sudah mulai dijajaki, antara lain adanya ganti rugi dari perusahaan terhadap 390 Ha tanah masyarakat.

Apa yang terjadi di Aek Korsik hampir bersamaan dengan yang terjadi di Desa Persiapan Batu Anam, yang dahulu bernama kampung Wonorejo, Desa Rahuning Kecamatan Bandar Pulo. Kasus ini dikatakan hampir bersamaan jenisnya dengan yang terjadi di Desa Aek Korsik Kecamata Aek Kuasan. Pada tahun 1969 kurang lebih 150 masyarakat di Kampung Wonorejo mengelola tanah negara seluas kurang lebih 350 Ha karena tanah tersebut telah diterlantarkan atau tidak dikuasai oleh pihak manapun. Sebelumnya tanah tersebut adalah bekas kawasan pengambilan kayu atau balok yang dilakukan oleh PT Senwat. Kemudian seorang penduduk bernama Wakijo pada tahun 1971 ditunjuk oleh Pemda Asahan untuk mengatur pembagian tanah kepada masyarakat dengan dengan luas maksimal 2 Ha per kepala keluarga, sehingga total tanah seluas 350 Ha. Kemudian masyarakat mengelola tanah tersebut dengan tanaman-tanaman tertentu. Dikarenakan sudah dikelola masyarakat, maka masyarakat dikenakan pajak dan dilanjutkan dengan proses pengurusan sertifikat BPN.

Rencana pensertifikatan tersebut kemudian berjalan dengan didahului oleh pengukuran terhadap 6 orang penduduk dan membuat patok-patok batas pada 350 Ha tanah milik masyarakat. Dengan dasar-dasar pembayaran pajak tersebut, maka proses pengukuran pun dilakukan yang dilanjutkan dengan proses peresmian yang dihadiri oleh Bupati Asahan dan pejabat-pejabat pemerintah pada tahun 1974. Proses pengukuran dan pensertikatan pada saat itu hanya dilakukan pada 6 kepala keluarga, karena pada saat itu tidak semua masyarakat mampu membayar biaya sertifikat.

Tidak beberapa lama setelah dilakukan pengukuran dan pembuatan batas-batas tanah, kemudian masuklah sebuah perusahaan bernama PT Balai Asahan. Pada saat itu perusahaan membuang dan memindahkan patok-patok batas yang sebelumnya telah dibuat oleh pihak pemerintah dan BPN Kabupaten Asahan. Pada saat itu masyarakat sudah menuntut perampasan tanah yang dilakukan perusahaan, namun tetap saja pada saat itu intimidasi dan tuduhan PKI terhadap masyarakat yang memprotes perusahaan telah melemahkan perjuangan masyarakat. Perkebunan saat ini sudah tidak dikelola oleh PT Balai Asahan lagi, namun sudah dikuasai oleh PT Asian Agri Kebun Gunung Melayu. Namun sebelumnya selama beberapa tahun perkebunan sempat dikuasai oleh PT MILANO dengan tetap menguasai 350 Ha tanah milik masyarakat.

Kondisi yang hampir bersamaan juga terjadi pada kelompok perjuangan tanah, yakni kelompok Tani Kelapa Gading di Desa Aek Bange, Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan. Lokasi sengketa letaknya tidak begitu jauh dengan kelompok Maju Lestari di Desa Aek Korsik di Kecamatan Aek Kuasan. Pada awalnya tanah yang pada saat ini dikuasai oleh PT Socfindo Aek Loba adalah tanah yang dikelola masyarakat sejak tahun 1950. Setelah 8 tahun dikelola oleh masyarakat, terjadi pemekaran wilayah desa, sehingga dari yang sebelumnya masuk Desa Aek bange Ledong Barat, menjadi dua Desa, yakni Desa Aek Bange dan Desa Ledong Barat. Pada tahun 1967 kemudian pemerintah membuat sebuah proyek tanaman karet seluas 25 Ha, bahkan pada tahun 1969 pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakat untuk mengembangkan proyek tersebut sebesar Rp. 100.000,-. Tidak lama setelah itu, yakni pada tahun 1971 masuklah perkebunan PT Socfindo Kebun Aek Loba yang membuat batas-batas dalam bentuk kanal-kanal atau parit di tanah masyarakat. Pada tahun 1972 dilakukan ganti rugi sebesar RP. 10.000,- per hektar, dan bagi yang menolak akan dituduh sebagai orang-orang PKI.

Total tanah yang diganti rugi pada saat itu adalah 166 Ha, sedangkan lahan milik masyarakat yang dikuasai oleh PT Socfindo adalah 366 Ha, sehingga masih ada 200 Ha yang belum diganti rugi. Pada saat itu pihak perkebunan menyatakan akan melanjutkan proses ganti rugi kepada masyarakat, namun sebelumnya menitipkan uang persekot sebesar Rp. 1.660.000,- kepada kepala Desa. Ketika Kepala Desa Aek Bange diganti, ternyata proses ganti rugi tidak dilaksanakan oleh perkebunan. Sampai saat ini tanah masih dikuasai oleh perkebunan tanpa ada kejelasan penyelesaian, baik ganti rugi maupun pengembalian tanah. Tuntutan dari masyarakat saat ini hanyalah meminta ganti rugi kepada pihak PT Socfindo Kebun Aek Loba, namun tidak jelas proses penyelesaiannya.

Kasus yang berbeda dari sengketa yang telah dijabarkan adalah yang terjadi di Dusun Pisang Binaya, Desa Pulo Besar, Kecamatan Simpang Empat. Pada awalnya di tahun 1973 sampai dengan 1974, kurang lebih 20 kepala keluarga dipindahkan dari Kampung Tangkahan Padang ke Dusun Pisang Binaya, dengan alasan bahwasannya Kampung Tangkahan Padang rawan banjir karena berada di sekitar Daerah Aliran Sungai Asahan. Di Dusun Pisang Binaya sudah disediakan 150 rumah yang kemudian disebut dengan perumnas oleh pemerintah. Pada tahun 1975 masuklah PTP VI yang berkantor pusat di Pabatu membuka perkebunan di Desa Pulo Besar Kampung Tangkahan Padang dan sekitarnya.

Akibat pemindahan, ternyata berdampak negatif kepada masyarakat. Sebelumnya masyarakat di Tangkahan Padang memiliki tanah. Pemindahan ke Pisang Binaya ternyata tidak dilanjutkan dengan pemberian dan penggantian tanah, sehingga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Barulah pada tahun 1980, Gubernur Sumatara Utara, yakni E.W.P Tambunan memberikan janji kepada masyarakat, bahwasannya setiap kepala keluarga akan diberi tanah 1 pancang atau 2 Ha tanah. Namun ternyata janji tersebut tidak terealisasi, bahkan pada saat bersamaan, PTP VI melakukan pengembangan perkebunan, baik di Tangkahan Padang maupun di sekitar Pulo Besar.

Pengembangan perkebunan PTP VI ternyata tidak berjalan lama, karena kurang lebih pertengahan tahun 1980-an dijual ke PT Padasa Enam Utama, termasuk seluruh tanah di Desa Tangkahan Padang. Akibat semakin sulitnya ekonomi, tidak adanya tanah di sekitar tempat tinggal, maka sebahagian besar warga pergi membuka, membeli tanah, bahkan menjadi buruh tani di Desa Padang Mahondang yang lokasinya di seberang Sungai Asahan. Kesulitan tersebut bermuara pada rencana untuk menguasai sekitar 800 Ha tanah di dalam HGU PT Padasa Enam Utama yang diterlantarkan. Menurut masyarsakat, tanah yang sebahagian besar merupakan rawa yang sudah kering tersebut bukan termasuk HGU PT Padasa Enam Utama sehingga bisa dikelola oleh masyasrakat. Saat dilaporkan ke pemerintah, keluarlah ijin lisan bahwasannya rakyat boleh mengelola tanah yang diterlantarkan selama puluhan tahun tersebut. Pada saat mendatangi Gubernur dan Kepala Kejaksaan Tingi Propinsi Sumatera Utara, ada janji dari kedua pejabat tersebut, bahwasannya mereka akan turun ke lapangan untuk membuktikan bahwasannya tanah tersebut sudah dikelola masyarakat, sehingga nantinya status pengelolaan lahan akan semakin kuat.

Di tengah proses perjuangan, pada tahun 1998 ternyata seorang aktivis di Asahan meminta sejumlah uang kepada masyarakat yang akan mengelola tanah sehingga tidak seluruh masyarakat mampu memenuhi permintaan tersebut. Dikarenakan tidak adanya kekuatan masyarakat, maka PT Padasa Enam Utama kemudian kembali mencabuti patok yang telah dibuat masyarakat dan sekali lagi menelantarkan tanah tersebut sampai saat ini.

Barulah pada tahun 2005 masyarakat membentuk kelompok-kelompok, dengan jumlah keseluruhan sebanyak 375 KK. Selama satu tahun masyarakat berorganisasi dan menggabungkan diri dengan Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR), terjadilah kesepakatan untuk menduduki 800 Ha lahan tidur yang tidak dikelola perkebunan. Selama 2 bulan seluruh masyarakat yang dikoordinatori FPTR melakukan pembukaan hutan rawa. Namun baru sekitar 200 Ha yang dibabat, 1 orang ketua kelompok dan 2 orang pengurus pusat FPTR ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama 7 bulan. Sejak itulah perlawanan masyarakat melemah dan hilang samasekali.

Persoalan pertanahan di Labuhan Batu pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Asahan, yakni terkait dengan keberadaan perkebunan, baik swasta maupun milik negara yang sebelumnya merupakan hasil nasionalisasi dari perusahaan perkebunan milik Belanda. Satu kasus yang memiliki pola yang hampir bersamaan adalah yang terjadi terhadap masyarakat di Desa Babussalam Sinar Jadi yang tanahnya dirampas oleh PTPN III Kebun Merbau Selatan. Akar masalah sengketa juga terjadi pada tahun 1950-an (tepatnya tahun 1958) ketika sekitar 110 Kepala keluarga ditempatkan di Desa Babussalam dalam program transmigrasi. Masing-masing keluarga mendapat 2 Ha tanah untuk dikerjakan, namun pada tahun 1968 PTPN III Merbau Selatan yang sebelumnya merupakan perusahaan perkebunan milik Belanda bernama NV Cultuur Merbau Zuid melakukan perluasan areal dan mengambil tanah yang sebelumnya sudah dibuka masyarakat dan mendapat ijin dari pemerintah seluas 250 Ha.

Pola sengketa tanah yang hampir bersamaan dengan yang terjadi di Kampung Pisang Binaya, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan bersamaan dengan yang terjadi di Dusun Wonosari Desa Sei Tampang, Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu. Tanah yang sudah dibuka dan dikelola masyarakat sejak tahun 1980 kemudian dikuasai oleh PT Cisadane Sawit Raya dengan melakukan intimidasi terhadap warga. Masyarakat di Desa Sei Tarolat Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu mengalami kasus yan sama. Kemiskinan dan kebutuhan akan tanah, adanya lahan terlantar yang tidak dikelola mendorong masyarakat untuk mengusahai kurang lebih 200 Ha. Sengketa di Desa Tarolat dan Pisang Binaya maupun yang dialami oleh masyarakat di Desa Pangkatan yang tanahnya dirampas PT Rantau Sinar Karsa dilatarbelakangi oleh kebutuhan masyarakat akan tanah. Pola ini sebenarnya hampir bersamaan dengan yang terjadi antara masyarakat dengan PT Socfindo di Kabupaten Asahan, yang membedakan hanyalah waktu dan rejim yang berkuasa.

4.2.3. Analisis Tentang Akar Konflik Pertanahan di Kabupaten Asahan Dan Labuhan Batu.

Banyak analisis menyatakan akar konflik pertanahan di Indonesia adalah disebabkan semakin menyempitnya lahan dibandingkan dengan kebutuhan akan tanah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, rasio manusia dengan tanah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan semakin nampak terjadi di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi maupun Papua. Berdasarkan sengketa tanah yang terjadi di Asahan dan Labuhan Batu kebanyakan sengketa tanah adalah kombinasi antara beberapa faktor, termasuk gejala semakin menyempitnya lahan untuk masyarakat.

Ratusan sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu secara umum adalah perampasan tanah masyarakat yang sebahagian besar dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, dan hanya sebahagian kecil yang disebabkan oleh perambahan hutan, pendudukan lahan yang diterlantarkan oleh pihak perkebunan maupun sengketa antar individu. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwasannya masyarakat memang sama sekali tidak mendapat tempat di negeri ini, karena pemerintah cenderung memberi tempat yang sangat besar kepada investor yang akan menanamkan modalnya di sektor perkebunan.

Berdasarkan identifikasi terhadap ratusan konflik yang terjadi di Kabupaten Asahan maupun Labuhan Batu, dari sisi waktu terjadinya sumber konflik dibagi atas beberapa periode, yakni;

Periode 1942 sampai dengan 1965

Sebahagian besar sumber sengketa tanah yang terjadi pada periode ini adalah perusahaan-perusahaan perkebunan asing milik Belanda maupun swasta asing, seperti PTPN III, PTPN IV, PT Socfindo, PT London Sumatera dan PT SIPEF di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Seperti yang terjadi di Desa Sengon Sari, Desa Aek Bange dan Aek Korsik, Tanah Gambus dan Limapuluh yang berhadapan dengan PT Socfindo, masyarakat Desa Babussalam Sinar jadi berhadapan dengan PTPN III Merbau Selatan dan kasus-kasus lainnya.

Periode ini sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik pada saat itu, terutama sistem hukum pertanahan yang memang dalam kondisi sangat tidak menentu, terutama pada saat masa penjajahan Jepang dari tahun 1942 sampai tahun 1945. Pada saat itu pemerintah fasis Jepang yang sedang menghadapi perang dengan Amerika Serikat. Untuk mendukung perang, pemerintah Jepang di Indonesia memberi keleluasaan kepada rakyat untuk membuka lahan maupun menguasai tanah yang ditinggalkan oleh perkebunan-perkebunan milik Belanda dan perusahaan asing lainnya.

Pasca keluarnya perusahaan-perusahaan asing tersebutlah kemudian rakyat merasa memiliki collective perception kembalinya tanah milik rakyat yang telah dirampas oleh Belanda melalui pemberlakukan Undang-Undang Agraria Kolonial tahun 1870. Persepsi seperti inilah yang kemudian mendorong rakyat untuk membuka dan menduduki lahan yang ditinggalkan perusahaan. Walaupun pada saat itu pajak bumi yang dikenakan pemerintah fasis Jepang mencapai 40%, namun tidak meredam pembukaan tanah untuk pertanian oleh masyarakat.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, beberapa rencana pun lahir, salah satunya adalah tentang sistem pengelolaan, kepemilikan dan pengelolahan tanah. Proses ppenyusunan sistem tersebut tidak mudah dilakukan karena Indonesia dalam keadaan sangat tidak stabil, antara lain dengan adanya agresi militer Belanda, pemberontakan di tahun 1950-an, pergantian sistem negara dan jatuh bangunnya kabinet, sampai dengan gerakan-gerakan politik radikal organisasi-organisasi massa terideologis.

Selama kurun waktu 1945 sampai 1965 dapat dikatakan sebagai masa-masa penting peletakan dasar hukum pertanahan maupun keleluasaan rakyat mendapatkan tanah, karena pada saat itu kemauan pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik cukup mendukung pelaksanaan landreform. Namun sayangnya kebijakan landreform dan agrarian reform lebih banyak berjalan sendiri-sendiri dilakukan oleh masyarakat dengan perlindungan kebijakan yang minimal. Kebutuhan rakyat akan tanah yang mendorong perebutan lahan-lahan perkebunan kemudian ternyata tidak dilindungi oleh pemerintah. Beberapa kebijakan kemudian muncul bukan untuk melindungi rakyat yang mencoba bertahan hidup dengan cara membuka lahan dan menguasai tanah milik bekas perkebunan, malah membuat kebijakan-kebijakan yang terkesan melindungi perkebunan-perkebunan asing yang telah dinasionalisasi dengan alasan menjaga proses pengalihan, antara lain dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi, PP 21/1964, Tentang Pembentukan Gabungan Perusahaan Sejenis Perkebunan Besar, Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Perppu/041/1958 tentang Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya

Beberapa kebijakan tersebut tampaknya menjadi penanda bahwasannya pemerintah memang tidak memiliki konsep yang jelas tentang landreform dan agrarian reform yang akan dilaksanakan. Namun memang tidak dipungkiri, kondisi tersebut terjadi dalam konteks situasi keamanan dan politik yang sangat tidak stabil. Pendudukan dan penguasaan lahan oleh rakyat yang dilakukan sejak 1942 maupun pasca keluarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1954 Tentang Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat ternyata menjadi pemicu utama sengketa. Pada yang hampir bersamaan memang pemerintah berhadapan dengan perusahaan-perusahaan milik swasta bukan Belanda yang mencoba memberi penawaran-penawaran untuk kembali mengoperasikan perkebunan-perkebunan mereka. Ditambah lagi pada tahun 1957 dan 1958 pemerintah harus memadamkan Pemberontakan yang salah satunya dimotori oleh Kolonel Simbolon sebagai Panglima Militer I Sumatera. Gerakan tersebut jika dianalisis tujuannya bersamaan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan asing khususnya di Sumatera Timur yang ingin menguasai kembali aset-aset perkebunan.

Periode 1965 Sampai Saat Ini

Menjadikan periode 1965 sampai saat ini sebenarnya telah mendistorsi tahapan-tahapan penting yang sebenarnya berlangsung mulai dari tahun 1965 hingga tahun 2007. Namun jika dilakukan generalisasi terhadap periode panjang tersebut, sebenarnya dalam hal keterkaitan dalam sengketa pertanahan, apa yang terjadi pada periode panjang tersebut adalah satu, yakni bagaimana secara sistematis kepemilikan dan pengelolaan tanah oleh rakyat dilucuti oleh pemerintah yang bekerjasama dengan modal.

Satu momentum penting yang terjadi pasca gerakan politik 1965 adalah penghancuran kekutan-kekuatan politik ideologis yang dianggap mengganggu negara kesatuan Republik Indonesia, terutama kekuatan organisasi-organisasi yang berafiliasi dan menjadi underbow PKI. Tragedi ini sebenarnya tidak masuk akal jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan pada saat gerakan politik berlangsung, namun jika dilihat tindakan dilakukan pasca penumpasan terhadap komponen-komponen yang terkait dengan PKI, maka semakin jelas bahwasannya disebalik keganasan pembasmian PKI tersimpan kepentingan modal yang cukup besar, salah satunya adalah terhadap penguasaan kembali perusahaan-perusahaan perkebunan di seluruh Indonesia, terutama di Sumatera Utara.

Pasca 1965, langkah paling awal yang dilakukan oleh rejim Soeharto adalah mengeluarkan beberapa undang-undang penting, diantaranya adalah Undang-Undang Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967, Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 dan Undang-Undang Penanam Modal Asing Tahun 1967. Jelas undang-undang ini secara tergesa-gesa dibuat untuk melindungi kepentingan pengusaha asing yang aset-asetnya diduduki oleh rakyat. Munculnya beberapa undang-undang cikal bakal politik ekonomi rejim Soeharto inilah yang kemudian membuka lebar pintu masuk perusahaan-perusahaan asing, baik yang pernah menancapkan kukunya di Indonesia, mengeksploitasi sumberdaya alam, terutama hutan dan bahan mineral.

Kesempatan tersebut tentu tidak disia-siakan oleh pemodal asing maupun konglomerat-konglomerat yang telah dipelihara sebelumnya. Pasca keluarnya beberapa undang-undang tersebut kemudian berlimpah ruah lah dana-dana asing, termasuk lembaga-lembaga keuangan internasional yang bersedia mendukung pendanaan pembangunan dindonesia, salah satunya adalah dukungan Bank Dunia dalam pengembangan industri perkebunan kelapa sawit terhadap perusahaan perkebunan rakyat, swasta dan perkebunan milik negara pada akhir tahun 1960-an.

Kebijakan yang pro investor asing (PMA), penanam modal swasta dalam negeri (PMDN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang perkebunan terus berlanjut pasca keluarnya undang-undang pendukung pembangunan tahun 1967. Tidak lama kemudian pemerintah juga mengeluarkan beberapa peraturan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 Tentang Hak Pengusahaan Hutan, hak guna usaha untuk perkebunan, peraturan dan perundangan tentang perkebunan, sampai dengan aturan-aturan yang mempermudah investor yang ingin menanamkan modal di Indonesia.

Terbukanya ruang investasi pasca 1967 semakin lama telah menelanjangi bumi indonesia. Berbagai strategi disediakan oleh pemerintah untuk menarik investor dan pemodal-pemodal dalam negeri yang memiliki minat tinggi menanamkan modalnya, terutama di bidang perkebunan. Ada berbagai cara yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain; membangun sistem pembiayaan yang menarik bagi pengusaha-pengusaha perkebunan, perbaikan iklim investasi, menawarkan buruh murah terhadap perusahaan, penyederhanaan birokrasi investasi, bahkan secara khusus mengeluarkan Keputusan bersama antara Menteri Pertanian dan Menteri Penggerak Dana Investasi dan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Penanaman Modal Asing Dibidang Perkebunan Kelapa Sawit. Bisa dibayangkan betapa daya tarik tersebut telah membuat Indonesia, terutama Sumatera Utara menjadi surga pengembangan industri perkebunan, khususnya perkebunan karet dan kelapa sawit. Namun sayangnya pertumbuhan sektor perkebunan tersebut meminggirkan hak rakyat terhadap sumberdaya pokok yakni tanah.

Jika diambil kesimpulan dari pemaparan di atas dan kasus-kasus sengketa yang terjadi di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Asahan, maka jelas bahwa sengketa tanah yang terjadi di Asahan dan Labuhan Batu secara umum tearkait dengan beberapa hal, yakni:

  1. Penguasaan, pembukaan dan pengelolaan tanah terutama sejak 1942 sampai 1965 ketika sistem hukum agraria dan politik pertanahan memberi toleran terhadap kebutuhan rakyat akan tanah, antara lain terhadap lahan perkebunan yang ditinggalkan dan membuka hutan untuk pertanian.
  2. Kebijakan pemerintah pasca 1967 yang merevitalisasi kembali sektor perkebunan dengan mengambilalih kembali tanah perkebunan yang ditinggalkan dan memperluas arel perkebunan yang telah dikelola rakyat.
  3. Sistem hukum agraria yang tidak jelas, informasi keagrariaan yang sangat tertutup dan tidak berfungsi optimalnya institusi-institusi pertanahan.

Tiga hasil analisis terhadap akar persoalan sengketa pertanahan di Sumatera Utara, khususnya di Asahan dan Labuhan Batu tersebut tentu saja tidak menjadi representasi seluruh situasi sengketa pertanahan yang ada, karena masih ada faktor-faktor lain, antara lain;

1. Pertarungan kepentingan dan juga ketidakjelasan pembanguan kewenangan antara pemerintah pusat dan Kabupaten dalam sistem penguasaan, kepemilikan dan pengelolaan tanah untuk perkebunan

2. Tidak jelasnya sistem penyelesaian sengketa tanah yang jelas, sehingga konflik tanah yang terjadi menjadi berkepanjangan tanpa kejelasan penyelesaian

3. Tidak dilakukannya pemetaan terhadap luas HGU perkebunan, sehingga perlindungan terhadap hak tanah rakyat sangat rentan

4.2.4. Upaya-Upaya Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Besarnya jumlah sengketa pertanahan di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu ternyata tidak sebanding dengan kasus yang diselesaikan, baik melalui musyawarah mufakat antar pihak-pihak yang bertikai maupun melalui mekanisme pengadilan. Dari jumlah kasus yang selesai tersebut, ternyata jumlah kasus yang dimenangkan oleh rakyat jumlahnya lebih sedikit lagi. Ini mengindikasikan bahwasannya banyak yang tidak tertata dalam sistem hukum agraria, khususnya aturan-aturan atau mekanisme penyelesaian sengketa pertanahan.

Jauh sebelum keresahan tentang munculnya sengketa agraria seperti yang terjadi saat ini, pemerintahan rejim orde lama maupun di masa-masa awal orde Soeharto sudah merasakan kerumitan sengketa pertanahan, terutama yang terjadi di daerah-daerah dimana perkebunan tumbuh subur. Sejak pemerintahan orde lama, sebenarnya beberapa cara sudah diantisipasi untuk menghindari terjadinya sengketa lahan, antara lain dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang dipandang bisa mengurangi permasalahan agraria. Namun sayangnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah malah terkesan menambah kerumitan yang berujung pada konflik tanah seperti yang terjadi saat ini, antara lain dengan mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 Tentang Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat dan Undang-Undang Nomor 51/Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang berhak atau Kuasanya.

Pada satu sisi kelihatannya Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 adalah kebijakan pro rakyat. Setelah sekian lama tidak memiliki tanah karena dijual kepada penguasaha-pengusaha perkebunan, maka mulai tahun 1942 rakyat mendapatkan momentum untuk memiliki kesempatan hidup dengan menduduki tanah yang ditinggalkan oleh perkebunan-perkebunan asing dan membuka lahan baru setelah bebas dari jeratan-jeratan pengusaha yang melarikan diri. Keluarnya UU Darurat No. 8 Tahun 1954 adalah sebuah aturan yang membuat pendudukan lahan yang tak terkendali menjadi lebih terkontrol. Kemudian 6 tahun setelah itu, ketika pendudukan tanah-tanah perkebunan tetap tidak terkontrol, pemerintah mengeluarkan UU No. 51/Prp Tahun 1960. Aturan ini jelas pada prinsipnya berusaha mengatur kekacauan sistem penguasaan dan pengelolaan tanah, namun ternyata kebijakan tersebut kemudian dimanfaatkan untuk melindungi pengusaha-pengusaha perkebunan yang menguasai perkebunan yang sebelumnya porak-poranda karena ditinggalkan.

Khususnya di Sumatera Timur kebijakan yang mengatur kembali sistem penguasaan dan pengelolaan tanah ditindaklanjuti dengan keluarnya Pedoman Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1960 Tentang Penyelesaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan di Sumatera Timur. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka bagi rakyat yang sudah melakukan penggarapan terhadap tanah-tanah perkebunan akan dilindungi, salah satunya adalah ditempatkannya orang-orang pemakai tanah perkebunan ke lokasi-lokasi penampungan yang telah disediakan dengan tetap menjamin kehidupan yang layak.

Berdasarkan aturan seperti itu, sebenarnya tidak ada satu celah apapun yang bisa membuat rakyat terpinggirkan, karena ada syarat, bahwasannya penggarap tanah perkebunan harus tetap dilindungi dan tidak boleh digusur begitu saja oleh perkebunan. Namun perlindungan hukum ternyata tidak sesuai dengan realitas di lapangan, karena ternyata masyarakat penggarap dan petani mengalami penggusuran dan intimidasi dari penguasa perang, antara lain oleh pelaksana DWIKORA daerah Sumatera Utara.

Begitu juga saat orde baru berkuasa. Jelas-jelas perlindungan terhadap petani penggarap juga telah tersedia, antara lain dengan diberlakukannya Surat Keputusan Panitia Landreform Pripinsi Sumatera Utara No. 961/LR/1969 Tanggal 26 September 1969 Tentang Pedoman Pengosongan Tanag Garapan Rakyat dalam Areal Perkebunan. Pada peraturan tersebut disebutkan, pengosongan yang dilakukan harus melalui musyawarah dengan pihak rakyat yang bersangkutan. Namun tetap saja aturan tersebut tidak mampu melindungi hak-hak rakyat yang secara ekonomi memang sangat membutuhkan tanah untuk bertahan hidup.

Secara umum, dari 122 kasus sengketa tanah yang terjadi di Asahan maupun beberapa kasus tanah di Kabupaten Labuhan Batu punya berlatarbelakang sama dengan konflik tanah lain yang terjadi di Sumatera Utara. Kejelasan akar sengketa tersebut ternyata tidaklah selaras dengan kejelasan penyelesaiannya. Berdasarkan penelitian, sengketa pertanahan sangat rumit karena terkait sangat kuat dengan aspek-aspek sosial, budaya, politik maupun pertahanan keamanan. Hal ini jugalah yang terjadi di Asahan dan Labuhan Batu.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sengketa tanah di Asahan dan Labuhan Batu punya akar sejarah yang panjang, mulai dari masa kolonial, rejim orde lama, orde baru dan berlanjut sampai saat ini. Panjangnya waktu tersebut ternyata terus menemui jalan buntu, sehingga menimbulkan kejenuhan dan pesimisme di kalangan masyarakat yang tergabung dalam kelompok-kelompok perjuangan tanah. Contoh paling tepat untuk menggambarkan type kasus sengketa tanah seperti ini adalah 6 kasus sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat dengan PT Socfindo di Kabupaten Asahan.

Menurut catatan dari pemerintah Kabupaten Asahan dan sebuah organisasi perjuangan bernama Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR), ada 7 kasus sengketa tanah antara kelompok masyarakat dengan PT Socfindo, yakni:

  1. Kasus manipulasi HGU dan perampasan tanah rakyat yang tergabung dalam Kelompok Tani Tanah Perjuangan di Desa Simpang Gambus dengan PT Socfindo Kebun Tanah Gambus Kecamatan Limapuluh seluas kurang lebih 483 Ha.
  2. Kasus manipulasi HGU dan perampasan tanah rakyat antara Kelompok Tani Karang Makmur di Desa Tanah Gambus dengan PT Socfindo Kebun Tanah Gambus Kecamatan Limapuluh seluas kurang lebih 85 Ha.
  3. Kasus manipulasi HGU dan perampasan tanah rakyat antara Kelompok Tani Satu Kata Perjuangan di Desa Tanah Gambus dengan PT Socfindo Kebun Tanah Gambus Kecamatan Limapuluh seluas 57,69 Ha.
  4. Kasus perampasan tanah penampungan 250 kepala keluarga yang tergabung dalam Kelompok Tani Penampungan Sengon Sari , Desa Sengon Sari, Kecamatan Aek Kuasan dengan PT Socfindo Kebun Aek Loba seluas kurang lebih 435 Ha.
  5. Kasus manipulasi luas HGU dan perampasan tanah rakyat antara Kelompok Tani Kelapa Gading di Desa Aek Bange Kecamatan Aek Kuasan, dengan PT Socfindo Kebun Aek Loba, kurang lebih 360 Ha.
  6. Kasus manipulasi luas dan perpanjangan HGU antara Kelompok Tani Maju Lestari di Desa Aek Korsik, Kecamatan Aek Kuasan dengan PT Socfindo Kebun Aek Loba, kurang lebih 390 Ha.
  7. Kasus perampasan tanah garapan kelompokWakidi dan kawan-kawan di Desa Sengon Sari, Kecamatan Aek Kuasan dengan PT Socfindo Aek Loba seluas kurang lebih 675 Ha.

Tujuh sengketa tanah yang saat ini dihadapi PT Socfindo Kebun Aek Loba dan PT Socfindo Tanah Gambus tersebut sebenarnya sudah mulai diperjuangkan mulai tahun 1970-an, namun baru muncul ke permukaan kembali pasca reformasi tahun 1998 dan menemukan pola perjuangan yang lebih terorganisir pada tahun 2005 ketika bergabung dengan Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR) Kabupaten Asahan. Kecuali sengketa tanah kelompok Wakidi cs, 6 kelompok petani lainnya saat ini sedang ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Asahan melalui keputusan Bupati Asahan Nomor 433-PEM/2005 Tanggal 19 Desember 2005.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh FPTR sebenarnya belum begitu lama dimulai, yakni pada tahun 2005 yang didukung oleh organiser-organiser Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia. Sebelum forum lintas kelompok tani tersebut terbentuk, sebenarnya masing-masing kelompok sudah pernah melakukan perjuangan, seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Aek Bange Kecamatan Aek Kuasan berhadapan dengan PT Socfindo Aek Loba. Sebelum tergabung dalam FPTR masyarakat di Desa Aek Bange yang tanahnya dirampas oleh PT Socfindo sudah menuntut pengembalian 366 Ha tanah yang direbut kepada perusahaan dan pemerintah setempat pada tahun 1971. Upaya tersebut ternyata gagal, malah perusahaan memaksa masyarakat menerima ganti rugi dengan cara-cara intimidasi (antara lain dengan menuduh masyarakat sebagai anggota PKI). Dikarenakan dilakukan dengan paksaan, masyarakat pun melepas seluruh tanah dan menerima ganti rugi 166 Ha dengan bayaran Rp. 10.000,- per Ha, sedangkan 200 Ha lainnya tidak dibayar.

Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Desa Aek Korsik, Kecamatan Aek Kuasan yang merampas tanah yang telah dikelola sejak tahun 1950 dan dimiliki secara syah pada tahun 1971 melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 78/HM/LR/1971. Namun tidak berapa lama kemudian PT Socfindo menguasai tanah rakyat sehingga masyarakat membuat pengaduan pada tahun 1973 ke Camat dan Bupati dan Dewan perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Asahan. Dikarenakan tidak mendapatkan tanggapan, kemudian kembali masyarakat mengadukan persoalan tanah mereka pada tahun 1984 dan juga pada tahun 1998, sampai akhirnya ke Gubernur Sumatera Utara.

Beberapa langkah tersebut sama sekali tidak mendapat tanggapan. Pada tahun 2000 masyarakat kembali menggugat perusahaan dengan mengadukan kasus mereka ke Kantor Sospol Asahan. Namun tanggapan yang diterima malah bukan semakin menguatkan, malah menuntut masyarakat untuk mengumpulkan bukti-bukti atau alas hak yang pernah dimiliki oleh masyarakat. Pengaduan yang dilakukan pada tahun 2000 tersebut kemudian didiamkan selama 3 tahun, sehingga baru pada tahun 2003 dilakukan peninjauan lapangan dan plotting oleh pemerintah dan BPN sesuai dengan peta HGU.

Seluruh upaya tersebut terbukti mengalami kegagalan, bahkan pada tahun 1998, PT Socfindo yang didukung keputusan Badan Pertanahan Nasional pusat melalui Keputusan Menteri negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 76/HGU/BPN/1997 kemudian memelakukan perpanjangan terhadap seluruh HGU PT Socfindo di seluruh Kabupaten Asahan sampai dengan tahun 2023 (FPTR, 2005). Jelas-jelas tindakan BPN pada kasus ini telah melangkahi hak rakyat, karena dalam situasi tanah dalam keadaan sengketa, BPN menyetujui usulan perusahaan untuk memperpanjang HGU tanpa melihat adanya konflik yang sedang berlangsung.

Pada tahun 2005 barulah gerakan perjuangan masyarakat Desa Aek Korsik dan Desa Aek Bange mengkonsolidasikan diri dan bergabung dengan FPTR bersama dengan kelompok petani di Tanah Gambus dan beberapa kelompok tani lainnya yang bersengketa dengan perusahaan-perusahaan lain di Kabupaten Asahan. Perjuangan yang terorganisir melalui FPTR tersebut berhasil mengumpulkan 25 kelompok tani yang berjuang atas tanahnya dengan jumlah anggota kurang lebih 4000 KK.

Langkah awal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok petani yang tergabung dalam FPTR adalah melakukan aksi massa yang diikuti ribuan anggota pada tanggal 26 September 2005 di Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Asahan. Ada beberapa tuntutan yang disuarakan oleh massa FPTR pada saat itu, yakni:

  1. Segera dibuat peraturan daerah tentang penyelesaian sengketa tanah di Kabupaten Asahan
  2. Cabut HGU perusahaan-perusahaan BUMN maupun swasta yang tidak menjalankan peraturan perundang-undangan tentang HGU
  3. Segera didistribusikan tanah-tanah terlantar kepada petani
  4. Tolak Perpres No, 36 Tahun 2005
  5. Dengan segera melakukan penyelesaian kasus sengketa tanah kelompok tani Front Pembebasan Tanah Rakyat
  6. Hentikan intimidasi dan kriminaslisasi kepada rakyat

Pasca aksi massa tersebut kemudian muncullah kesepakatan diantara FPTR, DPRD dan Bupati Asahan untuk membentuk tim yang berwenang menangani permasalahan tanah yang dialami kelompok-kelompok yang tergabung dalam FPTR. Berbagai rapat dan pertemuan pun kemudian dilangsungkan di Kantor Bupati Asahan dengan mengundang pihak kelompok-kelompok petani, Badan Pertanahan Nasional Asahan, PT Socfindo dan PT London Sumatera yang difasilitasi oleh Bupati Asahan. Salah satu upaya yang dilakasanakan pada saat itu adalah, kelompok-kelompok tani diharuskan mengumpulkan berbagai bukti yang mendukung tuntutan terhadap tanah yang disengketakan. Pada tanggal 23 Februari 2006 FPTR memberikan 19 berkas kelompok tani yang menuntut haknya, diantaranya adalah 6 kelompok tani yang bersengketa dengan PT Socfindo di Kabupaten Asahan.

Pertemuan antara pemerintah, BPN, PT Socfindo dan FPTR kemudian berlanjut, antara lain pembahasan tentang bukti-bukti, terutama yang dimiliki masyarakat tanpa berusaha mendorong kepada PT Socfindo untuk juga melakukan hal yang sama, yakni memberikan bukti-bukti penguasaan atau alas hak perusahaan. Begitulah proses kerja tim dari tahun 2006 sampai saat ini. Perkembangan terbaru malah telah memperlihatkan penyimpangan dari tujuan tim. Jika sebelumnya tim bertugas menyelesaikan 6 kasus tanah dengan PT Socfindo, ternyata hanya satu kasus yang ditindaklanjuti.

Perkembangan terbaru, yakni pada bulan April dan Mei tahun 2007, kerja tim ternyata semakin jauh dari harapan. Dari 19 berkas kasus yang diajukan untuk diselesaikan, 6 berkas tuntutan kelompok yang diutamakan untuk diselesaikan, ternyata hanya satu kasus yang dibicarakan lebih lanjut, yakni Kasus Kelompok Maju Lestari, Desa Aek Korsik Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan yang bersengketa dengan PT Socfindo Kabun Aek Loba.

Beberapa kali pembahasan yang dilakukan oleh tim, ternyata sebahagian besar kasus pertanahan yang diajukan FPTR menemui jalan buntu kecuali kasus kelompok tani Maju Lestari. Bahkan melalui surat Bupati Asahan Nomor 593/2065, Bupati menyampaikan surat yang ditujukan kepada Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara yang isinya antara lain menyatakan, sengketa yang ditangani tim sudah sangat lama tanpa ada titik penyelesaian, adanya desakan dari kelompok tani agar sengketa diselesaikan dan pihak perkebunan yang tetap bertahan dengan mengusulkan sengketa diselesaikan melalui jalur pengadilan. Kesimpulannya pada saat itu berdasarkan surat yang dikirim oleh Bupati Asahan, sengketa tanah memohon kepada Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara untuk menerima audiensi kelompok tani yang memohon bantuan penyelesaian sengketa.

Langkah yang dijalankan oleh Bupati Asahan, mulai dari pembentukan tim, pembahasan tentang proses penyelesaian yang kemudian dilanjutkan dengan pembuktian alas hak yang dimiliki masyarakat, kemudian berakhir dengan penyerahan penyelesaian kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara kemudian direspon secara berbeda oleh pengurus FPTR. Sebahagian, khususnya pengurus pusat FPTR menganggap tahapan ini adalah langkah maju dalam penyelesaian sengketa, namun sebahagian besar anggota dan pengurus masing-masing kelompok sudah curiga dengan proses yang berlangsung.

Kecurigaan pertama adalah semakin mengkerucutnya sengketa yang akan diselesaikan. Jika sebelumnya FPTR memberikan 19 berkas kasus dan mengutamakan 6 kasus kelompok petani yang berhadapan dengan PT Socfindo, ternyata hanya satu yang ditindaklanjuti. Kecurigaan kedua adalah tentang proses pembuktian. Pemerintah cenderung lebih memfokuskan diri agar kelompok-kelompok tani yang harus membuktikan alas hak tanah yang mereka tuntut tanpa ada upaya untuk memaksa perusahaan juga membuktikan secara formal maupun di lapangan tentang alas hak mereka. Kecurigaan ketiga adalah surat Bupati kepada Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara agar bersedia menyelesaikan kasus yang dihadapi FPTR, dan kecurigaan keempat adalah respon dari DPRD Kabupaten Asahan, khususnya Komisi A yang dianggap tidak serius dan tidak memiliki kapasitas, baik dalam mendorong, memaksa Bupati dan memfasilitasi penyelesaian kasus.

Situasi terakhir proses penyelesaian tampaknya secara awam memang menunjukkan kemajuan. Hasil rapat terakhir yang dihadiri Humas PT Socfindo, pengurus FPTR dan pengurus kelompok tani Maju Lestari yang difasilitasi Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara berakhir dengan rencana pengukuran lapangan. Tuntutan kelompok tani Maju Lestari pada awalnya adalah pengembalian tanah yang dikuasai perusahaan, namun kemudian mengalami perubahan. Di antara kelompok tani dan perusahaan sudah mulai muncul pembicaraan tentang proses ganti rugi, sehingga pengukuran lapangan akan dilakukan. Namun uniknya, langkah pengukuran tersebut tidak disertai dengan perumusan hal-hal teknis, seperti pembentukan tim pengukuran, biaya pengukuran dan sebagainya, sehingga rencana pengukuran lapangan kemungkinan besar tidak akan terlaksana, jika pun terlaksana maka hasilnya kemungkinan akan sia-sia.

Hal yang sama juga terjadi terhadap sebuah kelompok tani di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, yakni Kelompok Tani Inatani Saurmatua Pardembanan yang tanahnya dirampas oleh PT Jaya Baru Pratama dengan luas tanah sengketa sebesar kurang lebih 600 Ha. Sudah berkali-kali masyarakat melakukan aksi ke Kantor Bupati, Komisi A DPRD Kabupaten Asahan, pembentukan tim penyelesaian dan sebagainya. Kondisi terakhir, kelompok tani mengadakan pertemuan yan difasilitasi oleh Komisi A DPRD, yang dihadiri oleh BPN dan perwakilan Bupati Asahan maupun pihak PT Jaya Baru Pratama.

Kedudukan kasus sebenarnya sudah sangat menguatkan kelompok tani, karena dari sisi sejarah, tanah yang disengketakan adalah tanah ulayat, bukan tanah garapan seperti yang dianggap perusahaan, pemerintah dan pihak lain, karena saksi dari kelompok tani yang masih memahami sejarah tanah masih hidup. Kedua, menurut Komisi A DPRD Kabupaten Asahan, posisi kelompok tani sebenarnya sudah semakin kuat karena PT Jaya Baru Pratama sama sekali tidak memiliki HGU, walaupun luas tanah yang mereka kuasai sudah mencapai angka 2000 Ha. Pada pertemuan yang difasilitasi Komisi A tersebut, tidak ada keputusan yang bisa diambil karena dari pihak perusahaan tidak bisa mengambil kebijakan apapun, sebab utusan yang hadir pada saat itu bukanlah yang bisa mengambil keputusan.

Pertemuan tersebut kemudian merekomendasikan pertemuan lanjutan yang akan dilaksanakan di Kantor Camat Bandar pasir Mandoge pada bulan April tahun 2007. Pertemuan tersebut dihadiri oleh beberapa pihak, antara lain kelompok tani, pihak SPSU sebagai pendamping, Camat Bandar Pasir Mandoge sebagai tuan rumah, BPN kabupaten Asahan, Komisi A DPRD Asahan, pihak perusahaan dan Muspika Kecamatan Bandar Pasir Mandoge. Pertemuan ini dilangsungkan dengan satu tujuan, yakni mencapai kesepakatan bersama tentang penyelesaian kasus, khususnya pengembalian tanah rakyat.

Forum yang sangat diharapkan oleh masyarakat ini ternyata sangat tidak sesuai dengan tujuan semula, karena tidak ada titik temu antar dua pihak yang bersengketa. Pihak masyarakat yang ditanya terlebih dahulu sudah mau menurunkan tuntutan. Dari 600 Ha yang sebenarnya menjadi hak rakyat, masyarakat hanya meminta pengembalian sebanyak 400 Ha. Ternyata pihak perusahaan tidak melakukan hal yang sama. Perusahaan pada saat pertemuan tersebut hanya bersedia memberikan ganti rugi sebesar Rp. 50.000.000,- untuk seluruh tuntutan kelompok tani. Pertemuan tersebut kemudian diteruskan dengan pembicaraan secara tertutup antara pihak perusahaan, utusan kelompok tani dan Camat Bandar Pasir Mandoge. Forum rapat kecil di dalam pertemuan tersebut juga bernasib sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, yakni tidak mencapai kesepakatan dikarenakan alasan sepele, yakni utusan pihak perusahaan yang tidak punya kapasitas mengambil keputusan. Akhirnya pertemuan ditunda dan akan dilaksanakan setelah pihak direksi PT Jaya Baru Pratama pulang dari luar negeri.

Satu-satunya kasus sengketa tanah di Kabupaten Asahan yang dapat diselesaikan dengan kemenangan masyarakat adalah kasus yang terjadi antara 3 kelompok tani di Desa gajah Kecamatan Sei Balei dengan Koperasi PUSKOPAD Kodam I Bukit Barisan. Tanah yang disengketakan pada awalnya merupakan tanah transmigrasi pensiunan tentara angkatan darat (TRANSAD) tahun 1974 yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Sebelum dikuasai oleh PUSKOPAD, tanah dikuasai oleh penguasaha bermarga Banuarea yang kemudian dijual kepada PT Bintang Hasea. Dikarenakan tidak sanggup mengelola, kemudian tanah dijual kepada PUSKOPAD. Namun ternyata warga TRANSAD harus membayar pembelian tanah dengan cara dicicil selama beberapa tahun dengan total Rp. 7.000.000,- per kepala keluarga. Sebelum cicilan selesai, tanah dikelola oleh PUSKOPAD dengan perjanjian, saat sudah luas akan dikembalikan kepada keluarga TRANSAD.

Ketika perjanjian sudah sampai waktu yang ditentukan, ternyata pihak PUSKOPAD ingkar janji atau tidak mengembalikan tanah yang seharusnya sudah menjadi milik masyarakat. Perjuangan kemudian dilakukan, dimulai pada tahun 1992, diantaranya adalah melakukan aksi massa ke Bupati, Gubernur, BPN, sampai ke BPN pusat, namun tidak membuahkan hasil. Malah masyarakat pernah mendapat intimidasi ketika Kodam I Bukit Barisan menjadikan lahan sebagai lokasi latihan menembak yang tujuannya menakut-nakuti masyarakat sehingga masyarakat tidak berani memasuki dan menduduki lahan.

Dikarenakan kuatnya posisi militer pada saat itu, selama beberapa tahun perjuangan kelompok-kelompok tani berhenti. Barulah pada tahun 2002 pasca reformasi perjuangan dimulai kembali dengan dukungan PBHI sebagai pendamping masyarakat. Setelah beberapa lama perjuangan berlangsung, barulah pada tahun 2006 kasus dapat diselesaikan. Namun penyelesaian tidak ditangani oleh pemerintah, baik melalui Bupati, Gubernur maupun BPN daerah dan propinsi. Malah sengketa diselesaikan oleh Panglima Angkatan Darat dengan berpegangan kepada bukti-bukti yang dimiliki masyarakat, terutama surat perjanjian antara masyarakat dengan PUSKOPAD.

Sengketa tanah lainnya di Kabupaten Asahan tidak seberuntung kelompok-kelompok petani TRANSAD di Desa Gajah Kecamatan Sei Balei. Seperti yang dialami oleh Kelompok Tani Betahamu yang juga bersengketa dengan PUSKOPAD dengan luas tanah sengketa kurang lebih 180 Ha. Kasus ini malah mengutamakan pendekatan litigasi, sehingga proses penyelesaian mencapai mahkamah Agung yang kemudian akhirnya mengalahkan tuntutan masyarakat petani. Nasib yang tidak jauh berbeda juga dialami oleh kelompok tani Penampungan Sengon Sari yang kasusnya kemudian ditinggalkan oleh tim penyelesaian sengketa, masyarakat petani di Labuhan Batu yang memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) berhadapan dengan PT Sawita Ledong Jaya yang sama sekali tidak memiliki HGU bahkan beberapa kelompok petani yang mencoba menggarap tanah terlantar di Desa Pulau Besar Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan maupun yang dialami oleh Kelompok Tani Tanjung Bunga di Desa Kwala Gunung Kecamatan Limapuluh yang menuntut 180 Ha tanah mereka yang dikuasai PT Kuala Gunung.

Beberapa kasus yang dijabarkan di atas hanyalah segelintir sengketa yang menemui jalan buntu ataupun membentur tembok bernama kekuasaan, birokrasi dan kepentingan modal. Situasi tersebut dapat ketahui dari sikap skeptis dan pesimis dari pengurus-pengurus kelompok-kelompok petani yang selama ini melakukan perlawanan maupun pimpinan-pimpinan organisasi yang menaungi kelompok-kelompok tani, antara lain Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR), Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN) dan Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Rata-rata mereka menilai, langkah-langkah maupun mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang dijalankan selama ini tidak bisa diharapkan sama sekali. Ada beberapa alasan yang mereka ungkapkan, antara lain:

  1. Rendahnya tingkat kepercayaan terhadap aparat pemerintah, khususnya Badan Pertanahan dan Pemerintah Daerah
  2. Seringnya pembahasan maupun dialog yang menemui jalan buntu
  3. Adanya alasan-alasan teknis dan disengaja agar proses penyelesaian sengketa tertunda
  4. Aparat pemerintah, mulai dari Kepala Desa, Camat, Bupati, Muspida dan Muspika, maupun kepolisian yang selalu berpihak kepada pengusaha
  5. Adanya kebiasan dari birokrasi yang melempar tanggungjawab jika tidak bisa mengambil keputusan dalam penyelesaian sengketa tanah
  6. Sikap dan keputusan legislatif (DPRD), khususnya membidangi masalah pertanahan yang berubah-ubah atau tidak konsisten
  7. Rendahnya kapasitas atau pengetahuan legislatif (DPRD) yang membidangi masalah pertanahan tentang hukum dan aturan pertanahan
  8. Rendahnya kemauan eksekusi hasil kesepakatan, sehingga keputusan-keputusan yang memenangkan rakyat tidak pernah dieksekusi
  9. Kebiasaan-kebiasaan aparat pemerintah yang terus-menerus berjanji namun tidak ditepati
  10. Panjangnya proses penyelesaian sehingga membuat rakyat jenuh dan pesimis
  11. dan lain-lain

Seluruh respon yang muncul dari pemimpin, pengurus dan anggota-anggota kelompok tani perjuangan tanah tersebut menjadi catatan penting bahwasannya kerja-kerja perjuangan tanah di Asahan, termasuk juga di Labuhan Batu dalam kondisi mati suri. Pada satu sisi memang proses atau langkah-langkah yang selama ini sudah dijalankan memang masih berjalan, antara lain melalui tim penyelesaian yang dibentuk oleh Bupati, penyelesaian yang difasilitasi DPRD maupun dialog-dialog di tingkat kecamatan. Namun di sisi lain, respon pengurus dan pemimpin maupun anggota kelompok petani tersebut kontradiksi terhadap langkah yang masih diikuti oleh rakyat.

Realitas yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut di permukaan adalah sikap kontradiktif yang saat ini terjadi di masyarakat. Namun jika dianalisis lebih dalam, sebenarya yang terjadi adalah rakyat tidak punya pilihan lain dalam menuntut haknya. Ketidakpercayaan, antipati terhadap pemerintah, ketakutan terhadap resiko yang muncul akibat perlawanan yang dilakukan mendorong rakyat untuk tetap menjalani proses yang ditawarkan oleh pemerintah. Sedangkan cara-cara penyelesaian melalui pengadilan sangat dihindari. Penghindaran tersebut disebabkan oleh pengalaman bahwasannya pendekatan melalui pengadilan tidak pernah memenangkan pihak rakyat.

Selain pendekatan formal melalui pengaduan-pengaduan ke legislatif untuk kemudian dilimpahkan melalui eksekutif, baik bupati, Gubernur, Badan Pertanahan Nasional di tingkat Kabupaten maupun Propinsi, sengketa-sengketa pertanahan juga seringkali diupayakan dengan pendekatan-pendekatan intimidatif dengan menggunakan jaringan-jaringan kekuatan organisasi-organisasi di tingkat propinsi maupun nasional, seperti yang dilakukan oleh sebuah lembaga bernama Lembaga Missi Reclaseering Republik Indonesia (LMRI). Organisasi ini berkedudukan di Jakarta dan memiliki cabang di tingkat propinsi dan kabupaten. Walau memiliki struktur yang rapi di seluruh Indonesia, lembaga yang baru saja diresmikan dan tercatat secara formal di lembaran negara, namun keanggotaan di tingkat kabupaten dan kecamatan masih bersifat individual.

Lembaga Missi Reclaseering Republik Indonesia (LMRI) memiliki fungsi yang salah satunya adalah memonitoring dan mendorong penyelesaian sengketa pertanahan yang terjadi di seluruh Indonesia, salah satunya di Kabupaten Asahan. Anggota-anggotanya bukan saja dari individu-individu bebas, namun yang terjadi malah termasuk juga pemimpin-pemimpin kelompok petani yang selama ini melakukan perjuangan. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh kader maupun anggota LMRI, yakni menemui pihak-pihak yang terakait dengan sengketa, terutama dari kalangan pemerintah. Tindakan yang dilakukan bukan hanya sekedar meminta informasi ataupun monitoring terhadap kasus, namun sudah melakukan upaya-upaya menekan dan mengintimidasi aparat-aparat birokrasi, kepolisian maupun militer yang dianggap melindungi pengusaha.

Salah seorang pemimpin kelompok tani di Tanah Gambus adalah salah satu anggota LMRI yang saat ini sudah melakukan tugas-tugasnya. Salah satu kasus yang saat ini sedang ditangani adalah kelompok tani yang bersengketa dengan PT Paduan Karya di Tanjung Tiram. Anggota LMRI rata-rata bergerak sendiri-sendiri. Berbekal surat tugas dan kartu anggota, kader atau anggota akan mendatangi pihak-pihak yang bersengketa, memperkenalkan diri, melakukan analisis terhadap kasus dan membuka kesalahan, penyimpangan ataupun penyelewengan yang dilakukan oleh aparat-aparat pemerintah, militer yang terlibat maupun kepolisian. Menurut pengalaman mereka, dengan menunjukkan identitas sebagai anggota LMRI sudah membuat banyak pihak takut sehingga tidak melakukan kesalahan atau penyimpangan lagi. Apa yang ditemukan dari lapangan kemudian akan dilaporkan ke tingkat propinsi maupun pusat. Kemudian pemimpin di tingkat pusat dan propinsi akan menghubungi pihak-pihak yang dinilai menyimpang dan menginformasikan beberapa bentuk tindakan yang akan dilakukan jika penyimpangan tidak dihentikan, antara lain dengan dikoran kan atau melapor ke petinggi militer (hal itu dimungkinkan, karena pembina LMRI salah satunya adalah Badan Intelejen Nasional (BIN).

Pada saat penelitian dilakukan, beberapa anggota kelompok tani yang sekaligus menjadi anggota LMRI punya pandangan yang berbeda tentang strategi yang dijalankan. Bagi yang optimis, LMRI dianggap lebih memiliki kekuatan dibandingkan menggunakan pola-pola lama. Namun optimisme tersebut lebih banyak disebabkan oleh kekecewaan terhadap pemimpin atau pengurus kelompok tani. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan mereka, bahwa sebenarya keyakinan terhadap gerakan massa dalam sengketa pertanahan tetap diyakini menjadi strategi terpenting dalam perjuangan merebut hak tanah.

Pola perjuangan selanjutnya adalah menggunakan tekanan-tekanan politik di tingkat legislatif. Berdasarkan catatan-catatan perjuangan yang pernah dilakukan oleh kelompok-kelompok tani di Asahan, peran anggota DPRD yang memiliki konstituen di wilayah konflik tanah memang cukup besar, malah ada beberapa kelompok tani yang lahir atas dorongan dari anggota legislatif tersebut. Namun dorongan tersebut lebih banyak untuk kepentingan membangun kepercayaan konstituen politik dan kepentingan partai sehingga kurang efektif mendukung perjuangan kelompok. Bahkan kesan yang diterima kelompok tani malah saat ini cenderung negatif, karena kalangan legislatif lebih banyak berjanji tanpa ada jaminan dukungan yang lebih konsisten dan berkepanjangan.


Banyak pihak yang menyatakan (terutama pemerintah dan pengusaha), bahwasannya salah satu kelemahan kelompok-kelompok petani dalam memperjuangkan haknya adalah minimnya alas hak yang dimiliki oleh rakyat. Pandangan seperti itu ternyata juga tidak hanya berasal dari pemerintah dan pengusaha, kalangan kelompok-kelompok tani juga berpendapat sama sehingga berdampak pada upaya-upaya perjuangan yang dilakukan.

Persepsi ataupun paradigma seperti itulah yang tampaknya dari dahulu sampai sekarang paling banyak dijadikan landasan perjuangan rakyat melalui kelompok-kelompok tani saat mencoba menuntut kembali hak atas tanah ataupun ganti rugi terhadap tanah yang dikuasai oleh pengusaha-pengusaha perkebunan. Kecenderungan yang sama juga berlangsung terhadap kelompok-kelompok tani di Kabupaten Asahan dan juga Labuhan Batu, maupun di wilayah-wilayah perkebunan lainnya. Walaupun tidak menempatkan alas hak sebagai faktor utama, namun tetap saja bukti-bukti formal tetap sangat menentukan.

Salah satu contoh menggambarkan hal tersebut adalah kasus sengketa antara kelompok Maju Lestari dengan PT Socfindo Aek Loba di Desa Aek Korsik Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan. Dari 30 kalompok tani yang tergabung dalam Front Pembebasan Tanah Rakyat di Kabupaten Asahan, hanya kasus ini yang kemudian direkomendasikan oleh tim penyelesaian sengketa tanah untuk dibahas di Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara. Alasannya, pada tahun 1971 dan 1972 masyarakat sudah memiliki surat tanah seluas 390 Ha dalam bentuk surat keterangan landreform dari Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1971 dan 1972.

Menurut salah saorang anggota kelompok Maju Lestari, posisi kasus mereka tergolong lebih kuat dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya, karena sudah memegang surat keterangan landreform dari gubernur, sehingga penyelesaiannya harus diprioritaskan. Jika kasus kelompok Maju Lestari diselesaikan bersamaan dengan kelompok-kelompok lain yang juga bersengketa dengan PT Socfindo, maka penyelesaiannya akan lebih sulit, karena alas hak masing-masing kelompok berbeda-beda.

Pada satu sisi, strategi seperti itu memang cukup efektif, mengingat selama terjadi sengketa antara rakyat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan maupun yang terjadi di tingkat nasional, kasus-kasus sengketa pertanahan tidak dapat diselesaikan dalam sekaligus dalam satu wilayah Kabupaten maupun Kecamatan, namun ditangani satu-per satu. Demikian juga halnya dengan respon Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Asahan yang menyatakan ketidaksanggupan pemerintah untuk menyelesaikan kasus dalam jumlah banyak secara bersamaan, karena pemerintah memiliki keterbatasan personal beban tugas-tugas pemerintahan.

Pandangan seperti itu cukup masuk akal mengingat kelompok Maju Lestari adalah yang memiliki bukti-bukti formal. Namun di sisi lain, mengutamakan satu kasus yang terkuat dari sisi akan kontraproduktif terhadap kasus-kasus sengketa lainnya, khususnya bila proses penyelesaian melalui sebuah tim yang dibentuk pemerintah. Mandat tim yang seharusnya menyelesaikan kasus-kasus sengketa tanah yang dituntut rakyat kemudian tereduksi oleh landasan-landasan atau bukti-bukti formal yang pada umumnya memang menjadi titik lemah masyarakat akibat manipulasi, intimidasi dan penyelewengan sejarah tanah.

Lemahnya posisi rakyat tersebutlah yang kemudian sebenarnya harus menjadi dasar perubahan paradigma perjuangan tanah rakyat. Kelompok-kelompok perjuangan tanah larut dalam permainan kekuasaan yang berlindung disebalik aturan-aturan pertanahan legal formal. Bila bukti atau alas hak yang menjadi kekuatan utama perjuangan, maka kecil kemungkinan kasus-kasus tanah milik rakyat yang direbut perusahaan tidak akan terselesaikan. Sebagai contoh adalah beberapa kasus sengketa tanah antara kelompok-kelompok perjuangan di Desa Teluk Dalam dan Desa Pulau Besar Kecamatan Simpang Empat yang bersengketa dengan PT Padasa Enam Utama.

Empat kelompok petani yang bersengketa dengan PT Padasa Enam Utama ini berjuang menggarap kurang lebih 800 Ha tanah yang diklaim sebagai kawasan HGU perusahaan. Kelompok-kelompok ini jelas tidak memiliki alas hak apapun, namun hanya menggunakan Undang-Undang Dasar 1945, Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia dan UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai dasar bagi rakyat untuk menggarap tanah. Berdasarkan landasan itulah kemudian dalam perjuangan selanjutnya, kelompok ini tidak dimasukkan sebagai salah satu kasus yang akan diselesaikan melalui tim penyelesaian sengketa tanah yang dibentuk oleh Bupati Asahan.

Situasi yang sama juga dialami oleh kelompok-kelompok tani yang tidak memiliki alas hak resmi, seperti Forum Peduli Desa dan kumpulan-kumpulan petani penggarap di Desa Tanjung Kaso dan Tanjung Kasori yang menggarap tanah yang diterlantarkan di sekitar HGU PT Perkebunan Sumatera Utara (sebelumnya bernama Perusahaan Daerah Perkebunan Sumatera Utara (PD PSU). Berdasarkan hal itu maka kasus-kasus yang dilandasi oleh penggarapan tanah terlantar, terutama yang terjadi di tahun 1980-ke atas akan sulit diperjuangkan.


Tabel

Bukti-Bukti dan Alas Hak yang Dimiliki Kelompok-Kelompok Perjuangan Tanah

No

Bukti

1

Adanya ganti rugi yang dilakukan perusahaan terhadap tanah yang lokasinya berada di lokasi yang sama dengan tanah sengketa

2

Adanya areal perkuburan tanah wakaf di areal HGU

3

Surat Ketua DPRD tentang pengembalian tanah garapan masyarakat

4

Kartu Tanda Pendaftaran sebagai pemakai tanah perkebunan berdasarkan UU darurat No, 8 Tahun 1954

5

Surat pengakuan saksi dari perusahaan yang mengetahui sah nya kepemilikan tanah oleh rakyat

6

Peta lokasi tanah yang sebenarnya (bukan versi perusahaan)

7

Adanya sebahagian warga yang telah mendapat tanah penampungan

8

Bukti patok-patok batas tanah yang dahulu pernah dibuat BPN

9

Adanya patok-patok baru (bukan oleh BPN) yang dibuat perusahaan

10

Pengakuan perusahaan lain yang telah memberikan tanah penampungan kepada rakyat yang tanahnya diambil oleh perusahaan

11

Surat pernyataan kepala desa tentang kepemilikan sah masyarakat atas tanah sengketa

12

Surat panitia pertimbangan landreform

13

Surat pembayaran pajak tanah

14

Saksi mantan pekerja perusahaan yang melakukan penggusuran

15

Surat penggantian lahan yang dipakai oleh perusahaan perkebunan dari Bupati

16

Surat Keterangan Landreform oleh Gubernur

17

Surat Keputusan legalisasi tanah yang dikuasai rakyat oleh DPRD

18

Bukti pembayaran pengukuran yang dimiliki rakyat

19

Surat pengumuman dari Badan Musyawarah Daerah Kecamatan Bandar Pulau tentang Penggantian/pemindahan tanah

Terlepas apakah paradigma perjuangan yang dilakukan kelompok-kelompok tani telah mereduksi substansi perjuangan tanah ataupun memoderasi gerakan, namun penggunaan alas hak sebagai dasar perjuangan masih diyakini sebagai pilihan paling rasional bagi masyarakat. Kebencian, ketidakpercayaan, dan kekecewaan atas tindakan pengusaha maupun ketidakberpihakan pemerintah ternyata tidak memunculkan kemarahan maupun radikalisme di masyasrakat yang haknya dirampas. Hal itu tampak dari sikap kebanyakan anggota kelompok perlawanan yang saat ini memang sudah sangat pasif terhadap perjuangan.

4.2.5. Struktur Sosial Ekonomi Kelompok-Kelompok Perjuangan Tanah

Sebahagian besar kelompok-kelompok perjuangan tanah tinggal di kawasan-kawasan dalam maupun di luar enclave perkebunan. Anggota kelompok yang masih tinggal di dalam enclave perkebunan adalah masyarakat yang masih bertahan karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah tidak adanya tanah penggantian yang diberikan perusahaan seperti yang telah disepakati oleh perusahaan maupun pemerintah. Hal ini terjadi di Desa Aek Nagaga, Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. Dari 250 KK yang dijanjikan untuk menempati tanah penampungan dan diberikan 2 Ha per KK, hanya kurang lebih 65 KK yang sudah dipindahkan namun hanya mendapatkan 1 Ha per KK. Sedangkan sebahagian besar petani, yakni 185 KK masih menempat tempat tinggal mereka di dalam areal PT London Sumatera Kebun Gunung Melayu.

Sebahagian besar anggota kelompok tani di Desa Aek Nagaga adalah bekerja sebagai petani lahan sempit dan buruh tani, sedangkan sisanya bekerja sebagai buruh di PT London Sumatera, bekerja sebagai pedagang keliling, jualan di rumah dan menjadi buruh lepas yang bekerja mocok-mocok di kebun milik pribadi pada saat panen kelapa sawit. Demikian juga dengan ibu-ibu maupun anak perempuan yang telah dewasa. Banyak diantara mereka bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan dengan upah bervariasi, mulai dari Rp. 10.000,- sampai dengan Rp, 30.000,- per hari. Bagi perempuan yang bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL) di perkebunan tidak memiliki hari kerja yang tetap. Dalam satu bulan maksimal mereka bisa mendapat 20 Hari Kerja (HK) tergantung dari musim-musim kerja di perkebunan.

Bagi perempuan, baik istri anggota maupun anak perempuan yang telah dewasa yang tidak bekerja di perkebunan sebagai BHL, mereka lebih banyak menghabiskan aktivitas di sekitar rumah. Namun walaupun begitu mereka juga memiliki aktivitas tambahan, salah satunya adalah mengambil lidi kelapa sawit yang telah dibersihkan untuk dijual kepada pengumpul. Selain itu, di Desa Aek Nagaga, rata-rata anggota kelompok (kecuali yang masih bekerja di perkebunan dan tinggal di permukiman milik perusahaan) memelihara ternak lembu. Rata-rata mereka memiliki 2 sampai dengan 6 ekor lembu yang dipelihara di dalam kandang yang lokasinya di belakang rumah.

Memang tidak seluruh anggota kelompok secara ekonomi dalam keadaan sulit. Bagi beberapa anggota kelompok kondisi ekonominya sudah membaik, namun hal itu dikarenakan adanya lahan yang mereka miliki di kawasan-kawasan yang jauh dari permukiman mereka, bahkan ada yang memiliki tanah seluas 3 sampai 4 Ha di daerah Bagan Batu dan Provinsi Riau. Mereka mendapatkan tanah tersebut dengan dua cara, yakni membuka lahan hutan dan dengan cara membeli.

Kondisi yang tidak jauh berbeda, bahkan lebih sulit ditemui pada anggota kelompok perjuangan yang berada di Desa Teluk Dalam dan Desa Pulau Besar Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan. Rata-rata anggota dan seluruh masyarakat bekerja sebagai buruh tani di desa lain. Rata-rata dari masyarakat yang berjumlah 150 kepala keluarga tersebut hanya mengandalkan pekerjaan di tanah miliki warga desa lain, yakni Desa Padang Mahondang yang letaknya di seberang Sungai Asahan karena mereka sama sekali tidak memiliki tanah kecuali tanah tempat tinggal mereka.

Di kawasan Kecamatan Sei Balei sebahagian besar penduduk, termasuk anggota kelompok juga adalah petani gurem yang hanya memiliki 2 rante sampai 5 rante, yang ditanami coklat dan beberapa pohon kelapa sawit. Agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga, mereka juga bekerja sebagai buruh tani di lahan sawah milik orang lain yang rata-rata bukan penduduk setempat. Bagi keluarga yang memiliki 3 rante tanah, maka jika hasilnya bagus, tidak ada hama, pupuk cukup dan tidak banjir bisa menghasilkan 10 goni atau 1 ton padi. Pada saat penelitian padi dihargai Rp. 2500,- per kg, sehingga dalam satu kali panen bisa menghasilkan Rp. 2.500.000,-. Namun jumlah tersebut tetap tidak cukup bagi ekonomi keluarga, karena biaya produksi, seperti untuk pemupukan, bibit, obat, tenaga dan sebagainya mencapai Rp. 600.000,-, sehingga dalam masa 1 kali panen (4 bulan) satu orang keluarga hanya mendapat penghasilan Rp. 475.000,- dalam satu bulan.

Selain mengelola tanah mereka sendiri yang sempit, petani juga bekerja mocok-mocok di sawah milik orang lain. Sistemnya ada dua, sebagai buruh tani ataupun sistem perjanjian pembagian pertiga. Bagi buruh tani yang bekerja di tanah orang lain, untuk proses menanam padi dalam satu rante penyewa hanya mendapat Rp. 15.000,-. Sedangkan dengan sistem pertiga, dalam satu kali panen, buruh tani menerima 2/3 dari seluruh hasil, sedangkan pemilik mendapatkan 1/3 hasil. Pembagian tersebut sebenarnya sangat tidak adil, karena semua biaya produksi ditanggung oleh penyewa. Jika terjadi gagal panen, banjir, hama tikus dan tidak mendapat pupuk dan berdampak pada penurunan produksi, maka seluruhnya ditanggung oleh petani penyewa.

Untuk menambah penghasilan, keluarga petani, baik anggota kelompok maupun bukan anggota kelompok petani perjuangan mencari pekerjaan lain, seperti ngomben atau pekerjaan merontokkan padi, ataupun mengambil sisa-sisa padi yang jatuh setelah panen hanya untuk mendapatkan satu dua ikat padi untuk kemudian mereka konsumsi sendiri. Bagi para suami, penghasilan tambahan mereka dapatkan dari bekerja mocok-mocok di perkebunan milik pribadi, seperti nonjok atau mendodos kelapa sawit milik orang lain. Kadang-kadang juga ngomben atau teser pada saat panen.

Pendidikan Keluarga

Rata-rata pendidikan keluarga kelompok-kelompok tani bahkan seluruh warga yang tinggal di sekitar kawasan perkebunan sangat rendah, yakni hanya sampai SD (Sekolah Dasar) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Keluarga-keluarga petani rata-rata memiliki 3 sampai 5 anak yang hanya bisa menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Rendahnya tingkat pendidikan tersebut membuat anak-anak keluarga petani tidak memiliki banyak alternatif dalam hidup. Bagi anak petani yang sudah tamat SD atau SMP, walau masih berumur 12 sampai 15 tahun sudah harus bekerja untuk menambah pendapatan keluarga ataupun sekedar untuk jajan sendiri.

Rata-rata anak petani anggota kelompok tani yang sudah tamat ataupun tidak tamat SD bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan, bekerja sebagai kenek (pendamping) kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh tetap atau buruh harian lepas di perkebunan, bekerja sebagai kenek truk angkut kelapa sawit, menggembalakan lembu di areal perkebunan, dan mencari lidi kelapa sawit. Bagi sebahagian anak petani yang keluar dari kampung, mereka pergi ke kota bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga-keluarga kota ataupun menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negara-negara tetangga, terutama Malaysia.

Diakibatkan cepatnya anak-anak petani bekerja, maka tingkat kedewasaan anak-anak pun lebih cepat dari anak-anak di kota. Bagi anak petani yang sudah dianggap cukup umur (15 tahun ke atas) maka jika tidak berangkat ke kota akan cepat-cepat dinikahkan agar hidupnya dapat lebih cepat mandiri dan tidak lagi ditanggung oleh orang tua. Kecenderungan seperti itu memang marak terjadi di masyarkat petani yang tinggal di sekitar perkebunan. Untuk bekerja sebagai buruh tetap di perkebunan kemungkinannya sangat kecil, karena rata-rata saat ini yang bisa masuk menjadi buruh tetap adalah orang-orang yang memiliki hubungan dengan pegawai maupun staff perkebunan, sehingga tidak memungkinkan anak-anak petani untuk mendapat pekerjaan di perkebunan.

Dapat dikatakan posisi petani yang tinggal di enclave perkebunan posisinya memang sangat terjepit. Selain posisi permukiman petani memang benar-benar berada di dalam areal perkebunan, tanah yang mereka miliki adalah hanya sekedar tapak permukiman yang sering kali memang masih bagian dari tanah yang disengketakan. Sebenarnya masih banyak tanah kosong yang tidak dikelola perusahaan perkebunan karena terdiri atas tanah rawa-rawa dan luasnya pun tidak begitu banyak. Namun untuk mengolah lahan rawa tersebut tidaklah mudah dilakukan karena petani harus berhadapan dengan pihak perkebunan.

Beberapa petani di Desa Sungai Samsu, daerah Poncolan Kecamatan Sei Balei mengalami hal yang sama. Ada kurang lebih 10 Ha rawa-rawa yang tidak dikelola oleh perusahaan sehingga kemudian coba dikelola oleh puluhan petani. Ketika rawa yang dikelola oleh petani tersebut sudah mulai bersih dan di beberapa bagian sudah mengering, kemudian perusahaan mencoba merebutnya dengan cara me membeko dan membuat kanal-kanal yang ternyata menutup saluran air ke sawah yang dikelola masyarakat. Pernah terjadi perlawanan dari masyarakat, namun tidak begitu lama karena perusahaan secara tegas melarang masyarakat mengelola tanah tersebut.

4.2.6. Keluarga Petani Sebagai Supply Tenaga Kerja Murah

Seperti yang telah dijelaskan di atas, sebahagian besar petani yang tinggal di dalam maupun di sekitar enclave perkebunan adalah petani tak bertanah ataupun petani gurem yang rata-rata hanya memiliki 2 sampai dengan 5 rante tanah. Dengan luas tanah seperti itu, maka sudah pasti tidak akan cukup untuk menghidupi ekonomi keluarga. Untuk itu, keluarga petani, termasuk anggota-anggota kelompok tani yang sedang berjuang merebut haknya melakukan beberapa cara agar bisa bertahan hidup. Sebahagian petani memang sudah jauh-jauh hari mencari jalan keluar atas kesulitan yang mereka hadapi, antara lain dengan membeli tanah yang jauh dari permukiman mereka, bahkan sampai di luar propinsi, namun sebahagian besar bernasib lebih buruk. Tidak ada pilihan bagi petani-petani miskin yang ada di sekitar perkebunan selain bertahan di permukiman mereka sambil menunggu keberhasilan perjuangan atas tanah mereka.

Ada beberapa strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh petani-petani yang tinggal di sekitar perkebunan. Selain mengelola tanah yang berada jauh dari permukiman mereka, petani juga banyak yang memelihara ternak, terutama lembu, seperti yang terjadi di Desa Aek Nagaga, Kecamatan Bandar Pulau Kebupaten Asahan. Daerah ini dikenal sebagai daerah sumber ternak di Asahan, karena sebahagian besar memiliki ternak lembu. Sebahagian besar warga memang dapat dikatakan memiliki ternak lembu, yakni rata-rata memiliki 2 sampai 5 ekor. Pada awalnya sebahagian besar warga ketika memulai beternak lembu menggunakan sistem maro atau setengah-setengah. Sistem tersebut harus diawali oleh adanya lembu milik orang lain (biasanya warga di kota kecamatan, atau di kota Asahan) yang menanamkan modalnya dalam bentuk seekor atau sepasang lembu. Ketika lembu tersebut beranak seekor, maka lembu tersebut dianggap milik bersama, namun ketika beranak lagi, maka satu ekor lembu menjadi milik si penggembala. Lama-kelamaan sistem tersebut berkembang, sehingga rata-rata warga di Desa Sengon Sari dan Desa Aek Nagaga memiliki ternak, terutama lembu.

Cara lain yang dilakukan petani anggota-anggota kelompok rakyat pejuang tanah adalah bekerja sebagai buruh tani. Namun hal ini hanya bisa dilakukan jika di sekitar desa mereka terdapat desa-desa dimana perkebunan tidak ada. Desa-desa dimana perkebunan tidak ada kondisi ekonomi petani malah lebih baik dibandingkan desa yang posisinya berada di dalam enclave perkebunan, hal itu tampak dari kondisi rumah-rumah penduduknya. Di Desa Pulau Besar, Desa Teluk Dalam, sebagian besar penduduknya bekerja sebagai buruh tani di Desa Padang Mahondang yang lokasinya cukup jauh dan berada di Kecamatan Pulau Raja. Sebahagian dari mereka ada yang bekerja di lahan orang lain dengan menerima upah, dan ada juga yang menyewa tanah. Walau sebahagian kecil petani ada juga yang sempat membeli tanah di Desa Padang Mahondang, namun statusnya sangat rentan, karena bukan penduduk lokal, sehingga sering sekali terjadi perebutan diantara warga Padang Mahondang dengan warga diluar desa yang memiliki tanah di desa tersebut.

Beberapa cara bertahan hidup yang dilakukan oleh warga di sekitar perkebunan seperti yang dijelaskan di atas adalah matapencaharian yang tidak mengganggu sekaligus tidak tidak berhubungan dengan pihak perkebunan. Namun salah satu pilihan petani agar dapat bertahan hidup adalah dengan bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan. Realitas seperti ini tampaknya biasa-biasa saja bagi banyak orang, karena memang tekanan ekonomi mendorong rakyat untuk melakukan apapun, termasuk bekerja di perusahaan perkebunan. Namun jika dianalisis lebih dalam, sebenarnya keberadaan permukiman petani di dalam enclave perkebunan adalah sumber tenagakerja yang murah dan mudah dipekerjakan diperkebunan.

Posisi permukiman yang berada di dalam maupun di sekitar perkebunan, ketiadaan tanah, sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan, dan sebagainya tampak sebagai sebuah situasi yang dikondisikan. Jika dahulu pada jaman kolonial buruh perkebunan didatangkan dari Pulau Jawa dan sulit untuk dipertahankan, maka pada saat ini perkebunan tidak harus berusaha keras, karena tenagakerja sudah tersedia dan kapan saja dapat diperas oleh perkebunan. Perusahaan perkebunan tidak harus mendatangkan lagi buruh untuk melakukan proses produksi karena di kawasan terdekatnya terdapat permukiman penduduk miskin yang setiap saat bisa direkrut.

Penggunaan pekerja yang berasal dari permukiman penduduk yang tinggal di perkampungan sekitar perkebunan tersebut tentu sangat efisien. Pertama, dengan mempekerjakan penduduk di sekitar perkebunan, perusahaan tidak harus menyediakan alat transportasi, karena warga perkampungan memang tinggal di dalam areal perkebunan. Kedua, kemiskinan penduduk perkampungan tidak menyulitkan buruh merekrut pekerja, karena memang warga perkampungan tidak banyak punya pilihan pekerjaan, sehingga tawaran bekerja di perkebunan dianggap rejeki yang tidak bisa dilepas. Namun sayangnya pekerjaan yang diberikan perusahaan terhadap warga perkampungan di sekitar perkebunan adalah pekerjaan jenis harian lepas atau buruh tidak tetap yang sama sekali statusnya tidak pasti. Pekerjaan yang dilakukan bagi perempuan adalah mboyan, seperti membersihkan piringan, membabat gawangan, meracun menggunakan zat-zat kimia, memupuk, bahkan membersihkan parit atau jalan di sekitar perkebunan.

Bagi buruh harian lepas laki-laki pekerjaan yang dilakukan adalah hampir sama seperti yang dilakukan oleh buruh tetap (SKU) laki-laki, yakni sebagai buruh pemanen ataupun meruning (menunas) pohon kelapa sawit. Walaupun melakukan pekerjaan yang persis sama yang dilakukan buruh SKU, namun hak yang diterima tidaklah sama, karena selain basis borong lebih besar, peralatan kerja seluruhnya dibebankan kepada buruh dan tidak ada jaminan ataupun perlindungan apapun. Namun tetap saja beban yang berat dan status yang tidak jelas tersebut diterima oleh penduduk perkampungan di sekitar perkebunan.

Situasi yang digambarkan di atas adalah realitas di seluruh perkampungan yang berada di dalam maupun di sekitar enclave perkebunan. Hal yang sama juga dialami oleh anggota kelompok-kelompok pejuang tanah dimana penelitian ini dilakukan, bahkan ada sebahagian anggota yang menjadi pekerja lepas di perusahaan perkebunan yang bersengketa dengan mereka sehingga membuat perjuangan sering terhenti. Realitas seperti itu menjadikan perusahaan perkebunan akan semakin tumbuh subur di seluruh kawasan Sumatera Utara, karena warga yang tinggal di perkampungan dan anggota kelompok perjuangan telah menjadi sumber tenagakerja murah yang mudah diperoleh kapanpun perkebunan membutuhkan.


4.2.7. Sistem Kelembagaan Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Banyaknya jumlah sengketa pertanahan di Asahan maupun di Labuhan Batu sebenarnya tidak seimbang dibandingkan dengan keberadaan organisasi maupun kelompok-kelompok perlawanan yang ada. Dalam proses identifikasi di lapangan maupun data-data skunder yang dimiliki beberapa kelompok, malah saat ini perlawanan semakin melemah disebabkan oleh beberapa faktor, baik diakibatkan oleh tekanan eksternal kelompok-kelompok perlawanan maupun dari internal organisasi.

Memahami kelompok-kelompok perlawanan perjuangan tanah di Asahan maupun di Labuhan Batu harus menggunakan beberapa kacamata. Dengan kata lain, harus ada fleksibilitas penilaian secara subyektif dan objektif secara berimbang, sebab jika menggunakan satu perspektif, maka penilaian subyektif akan merusak realitas yang sebenarnya harus diungkap dalam penelitian ini.

Dari sudut pandang ideologi apapun gerakan perjuangan tanah di Asahan dan Labuhan Batu, bahkan kemungkinan di seluruh Sumatera Utara, maka kelompok ataupun organisasi-organisasi yang ada digolongkan sebagai gerakan pragmatis, sebab tujuan utama perjuangan adalah bagaimana mendapatkan hak atas tanah yang dimiliki tanpa punya orientasi jangka panjang atas penguasaan tanah yang mereka perjuangkan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh kecil kemenangan perjuangan yang kemudian memunculkan rasa puas sehingga tidak kritis terhadap beberapa kemungkinan yang kontraproduktif terhadap kemenangan yang diperoleh.

Sebelum memasuki analisis terhadap perjuangan kelompok-kelompok maupun organisasi perjuangan tanah yang ada di Asahan dan sedikit di Labuhan Batu, terlebih dahulu digambarkan sisi keberadaan organisasi-organisasi tersebut.

Di Kabupaten Asahan saat ini secara umum terdapat 4 (empat) organisasi besar yang merupakan kumpulan kelompok-kelompok perjuangan dari seluruh wilayah Asahan, yakni:

1. Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR)

Front Pembebasan Tanah Rakyat atau disingkat dengan FPTR adalah sebuah organisasi perlawanan yang didirikan pada tahun 2005. Organisasi ini pada awalnya merupakan kelompok maupun embrio kelompok yang disatukan oleh organiser PBHI di beberapa kecamatan. Namun sebelum FPTR terbentuk, sebenarnya perlawanan masing-masing kelompok sudah pernah dilakukan atas nama orang per orang, diantaranya individu-individu yang pernah dididik oleh partai, terutama Partai Demokrasi Indonesia yang kemudian dilanjutkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Front Pembebasan Tanah Rakyat adalah sebuah organisasi independen dengan memiliki 5 tujuan, yakni:

  1. Mewujudkan pembebasan terhadap tanah rakyat yang dirampas
  2. Sebagai media perjuangan bersama bagi kelompok-kelompok tani yang tanahnya dirampas
  3. Mewujudkan pembebasan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan yang terjadi terhadap lahan-lahan masyarakat petani
  4. Melakukan usaha utnuk menghentikan segala bentuk intimidasi dan kekerasan yang terjadi terahadap petani, sebagai akibat dari proses perjuangan yang sedang dilakukan
  5. Mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan tanah terlantar maupun yang diterlantarkan oleh perusahaan kepada rakyat untuk mengerjakan menjadi lahan produktif

Pada saat penelitian ini dilakukan, FPTR berkedudukan di Kota Kisaran dengan anggota yang tersebar di 13 Kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan, yakni:

1

Kecamatan Aek Kuasan

7

Kecamatan Bandar Pasir Mandoge

2

Kecamatan Bandar Pulau

8

Kecamatan Buntu Pane

3

Kecamatan Pulau Rakyat

9

Kecamatan Kisaran Timur

4

Kecamatan Air Batu

10

Kecamatan Sei Balei

5

Kecamatan Simpang Empat

11

Kecamatan Limapuluh

6

Kecamatan Sei Kepayang

12

Kecamatan Air Putih

13

Kecamatan Sei Suka

Di 13 Kecamatan tersebut saat ini di dalam FPTR bernaung 32 kelompok. Masing-masing kelompok memiliki jumlah anggota bervariasi. Pada tahun 2005 FPTR mengklaim telah memiliki anggota sebanyak 4500 KK, belum termasuk anggota keluarga dari tiap-tiap anggota, sehingga jika satu keluarga minimal memiliki 4-5 orang, maka massa FPTR di atas kertas bisa mencapai 18.000 hingga kurang lebih 22.000 orang.

2. Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN)

Yayasan Buruh Tani dan Nelayan merupakan sebuah organisasi yang berpusat di Kota Medan dan memiliki Cabang di beberapa Kabupaten di Sumatera Utara dengan Ketua mantan anggota DPRD Sumatera Utara, yakni Patawi Bowi. Tidak ada catatan jumlah anggota ataupun jumlah kelompok yang terdaftar di YBTN sehingga menyulitkan mengetahui kerja-kerja yang dilakukan organisasi. Menurut pengakuan Supardi Tampubolon sebagai Ketua Cabang YBTN di Kabupaten Asahan, ada 5000 anggota YBTN, yang tersebar di setiap desa, karena basis kelompok yang berada di bawah naungan YBTN adalah berdasarkan desa.

Saat penelitian dilakukan aktivitas YBTN hampir dikatakan mengalami kevakuman. Beberapa kasus pertanahan yang sebelumnya didampingi YBTN tidak lagi ditangani diakibatkan banyaknya kelompok-kelompok perjuangan yang kemudian berpindah ke organisasi lain akibat sistem keanggotaan yang fleksibel dan tidak rapinya administrasi organisasi. Secara struktural, YBTN memiliki Dewan Pimpinan Pusat di Medan, sedangkan di Kabupaten disebut Dewan Pimpinan Cabang. Di tingkat kecamatan dinamakan Dewan Perwakilan Kecamatan dan tiap kelompok ada di tiap-tiap desa.

3. Aliansi Kelompok Tani Asahan (AKTA)

Aliansi Kelompok Tani Asahan berdiri pada tahun 1998 oleh Zasnis Sulung Marpaung yang pada saat itu merupakan salah satu pendiri LBH Pos Asahan. Pendirian AKTA bersamaan dengan pemilihan Bupati Asahan Risuddin, sehingga dianggap sebagai strategi mobilisasi massa untuk kepentingan politik. Sampai saat ini AKTA masih aktif melakukan perjuangan melalui kelompok-kelompok dan forum kelompok, khususnya dalam kasus-kasus kehutanan. Dikarenakan berbentuk aliansi, maka AKTA bukan hanya menaungi kelompok-kelompok, namun juga forum atau kumpulan kelompok-kelompok tani, seperti Gabungan Kelompok Tani Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (Gerhan).

Menurut catatan terakhir, AKTA mengklaim memiliki hampir 4000 anggota yang berasal dari 49 kelompok tani hampir di seluruh Kecamtan yang ada di Kabupaten Asahan. Sebagai tokoh di Asahan, tentu saja Zasnis Sulungs Marpaung, AKTA lahir dari kelompok-kelompok yang sebahagian merupakan dampingan LBH sebelumnya sehingga pendekatan-pendekatan perjuangan khas lembaga bantuan hukum menjadi strategi utama.

4. Serikat Petani Sumatera Utara

Serikat Petani Sumatera Utara adalah organisasi yang tergolong sudah lama melakukan kerja-kerja pergerakan mendukung perjuangan tanah rakyat di Kabupaten Asahan. Saat ini sulit menentukan kelompok-kelompok yang tergabung di dalam SPSU, karena ada banyak sebenarya kelompok-kelompok SPSU yang keluar dari SPSU dan memasuki organisasi lain, seperti AKTA, FPTR, YBTN ataupun berjuang secara mandiri bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Kabupaten Asahan.

Salah satu lokasi konsentrasi pengorganisasian SPSU adalah di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge. Di Kecamatan tersebut SPSU fokus menangani dua kelompok tani, yakni kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan yang bersengketa dengan PT Jaya Baru Pratama (PT JBP) dan Kelompok Maju Bersatu yang berhadapan dengan PT Bakrie Sumatera Plantation di Desa Sei Kopas. Kelompok-kelompok dampingan SPSU yang lain di Bandar Pulau, Limapuluh, Sei Balei dan kecamatan lainnya mengalami stagnasi.

Secara organisasional SPSU dapat dikatakan mengalami kemunduran. Pengurus-pengurus pusat yang baru saja terpilih dalam kongres pada tahun 2006 juga belum melakukan aktivitas, sehingga secara defakto SPSU hanya mendampingi dua kelompok di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge. Namun sebelumnya SPSU merupakan kelompok pergerakan petani terbesar di Asahan, hal ini dibuktikan dari banyaknya kelompok-kelompok perjuangan di Asahan yang pernah mendapat dampingan bahkan dibentuk oleh SPSU. Di Bandar Pulau sendiri masih ada satu kelompok yang menjalankan program ekonomi sejenis koperasi. Namun anggota-anggota kelompok usaha tersebut tidak selalu sebagai anggota kelompok perjuangan tanah, karena keanggotaan usaha ekonomi dibedakan dengan kelompok perjuangan.

Selain ke empat organisasi tersebut, perjuangan rakyat untuk menuntut hak-hak atas tanah yang direbut perusahaan perkebunan juga tidak hanya melalui organisasi-organisasi dengan type di atas. Ada banyak juga kelompok-kelompok rakyat yang melakukan perjuangan tanpa bergabung dengan SPSU, YBTN, AKTA dan FPTR. Kelompok-kelompok tersebut berjuang melalui lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada di Kisaran ataupun melalui kantor-kantor pengacara untuk menempuh penyelesaian melalui pengadilan, sedangkan kelompok-kelompok perjuangan lain ada yang mendapat dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kisaran yang sampai saat ini menurut catatan sudah mencapai 300 lembaga.

4.2.8. Tekanan Eksternal dan Kendala Internal Organisasi Rakyat

Keberadaan kelompok dan organisasi-organisasi perlawanan rakyat merebut kembali haknya seperti yang terjadi di Kabupaten Asahan bagaimanapun juga telah tercatat sebagai bagian dari sejarah perjuangan rakyat atas keserakahan dan carut-marutnya kepastian hukum agraria di Indonesia. Namun dalam catatan sejarah tersebut tertera pula bagaimana sulitnya rakyat menyatukan diri dalam gerakan yang lebih massif untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Dapat dikatakan perjuangan rakyat atas hak-hak tanah tidak hanya mengalami stagnasi, namun mundur secara perlahan. Istilah bahwasannya kehancuran organisasi perjuangan berakar dari persoalan-persoalan kecil atau sepele mungkin tepat ditujukan pada kelompok-kelompok perjuangan di Asahan, walaupun pengaruh dari luar, khususnya penghancuran oleh pengusaha dan pemerintah juga tidak bisa dilepaskan sama sekali.

Tekanan Eksternal

Perjuangan rakyat, khususnya kelompok-kelompok perlawanan tanah tentu saja tidak pernah berjalan mulus, karena pengusaha perkebunan yang merampas tanah rakyat tidak akan tinggal diam dengan langkah-langkah yang dilakukan organisasi rakyat. Berdasarkan kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten Asahan, perusahaan perkebunan memang harus melakukan berbagai cara untuk melemahkan gerakan rakyat disebabkan memang posisi dan tuntutan-tuntutan rakyat memang sangat kuat, karena selain memiliki alat-alat bukti yang sangat kuat, apa yang dilakukan masyarakat juga dilindungi secara hukum. Hal itulah sebenarnya yang paling ditakuti oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sehingga mencari berbagai macam cara untuk melemahkan organisasi perlawanan rakyat.

Berdasarkan pengalaman perjuangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, selama menuntut hak-haknya, baik melalui aksi, dialog dengan pemerintah, proses pengadilan, maupun pendudukan lahan, sangat sulit bagi perusahaan perkebunan untuk bisa mengesampingkan ataupun mementahkan argumentasi dan bukti-bukti yang dimiliki masyarakat. Berbagai proses dialog, negosiasi dalam pertemuan maupun aksi pendudukan lahan, perusahaan malah lebih sering diam tanpa argumentasi dan menjadikan pemerintah sebagai juru bicara perusahaan. Menurut kelompok-kelompok perjuangan, hal ini menunjukkan bahwasannya pihak perkebunan tidak memiliki kekuatan untuk beradu argumentasi maupun bukti-bukti.

Kekuatan posisi dan bukti yang dimiliki rakyat tersebutlah yang kemudian digunakan oleh perusahaan perkebunan untuk memperlemah rakyat, antara lain dengan melakukan:

Posisi Pasif dalam Proses Dialog

Tindakan ini adalah yang paling sering dilakukan oleh perusahaan, khususnya utusan yang dikirim oleh pihak perkebunan. Sering kali dalam pertemuan, dialog, rapat tim ataupun negosiasi lapangan yang difasilitasi atau dimediasi oleh pemerintah, utusan yang dikirim adalah yang tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan, seperti mengirim Kepala, wakil maupun staff hubungan masyarakat, ataupun manager kebun/estate. Mereka-mereka yang mewakili perusahaan dalam proses pertemuan, dialog, negosiasi maupun rapat tim penyelesaian sengketa seperti yang dibentuk oleh Bupati Asahan adalah orang-orang yang tidak bisa mengambil keputusan apapun.

Beberapa sengketa tanah, misalnya 6 kasus yang diajukan FPTR melawan PT Socfindo juga mengalami hal yang sama. Ke enam kasus yang menjadi tema pembahasan dan harus diselesaikan oleh tim yang dibentuk Bupati Asahan berjalan tertatih-tatih. Sejak dibentuk pada tahun 2006 hingga saat ini tim belum membuahkan hasil. Demikian juga dengan beberapa kasus di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge antara masyarakat dengan PT BSP, PTPN IV, PT Sari Persada Raya dan PT Jaya Baru Pratama (PT JBP). Pertemuan demi pertemuan dilakukan sehingga tampaknya sudah sampai akhir penyelesaian. Kasus terakhir adalah yang dialami kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan berhadapan dengan PT JBP. Walaupun pada pembicaraan sebelumnya di DPRD Asahan sudah ada kesepakatan akan dibicarakan negosiasi pengembalian ataupun ganti rugi tanah, tetap saja pertemuan mengalami kebuntuan hanya karena pihak humas PT JBP tidak bisa mengambil keputusan sehingga harus menunggu direksi yang sedang di luar negeri.

Tentunya alasan seperti itu sangatlah dibuat-buat. Beberapa kali pertemuan sebelumnya sebenarya pihak perusahaan sudah mengetahui tahapan penyelesaian yang sedang dijalankan. Ketika pada saat pertemuan perusahaan tidak bisa mengambil keputusan, ini jelas sudah bentuk permainan dari perusahaan yang sama sekali tidak memiliki HGU atas kurang lebih 2000 Ha lahan yang mereka kuasai.

Hal yang patut disayangkan adalah posisi pemerintah yang kemudian tidak bisa mengambil sikap tegas terhadap permainan yang dilakukan perusahaan. Pada satu sisi, alasan yang dikemukakan oleh perkebunan selalu alasan yang masuk akal, seperti; direksi lagi tidak di tempat, belum dibicarakan dalam rapat internal perusahaan, belum ada komunikasi dengan direksi, belum sempat membicarakan, direksi tidak di tempat, dan berbagai alasan sepele lainnya. Namun jika alasan-alasan seperti ini sudah menjadi pola, sebenarnya pemerintah bisa mengambil sikap. Namun yang terjadi tidaklah demikian, pemerintah malah cenderung menerima alasan-alasan tersebut tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat yang harus menunggu dalam jangka waktu yang panjang dan tidak tidak pasti.

Ketidakpastian terhadap mekanisme penyelesaian, berbelit-belitnya proses penyelesaian, terkendalanya penyelesaian akibat persoalan-persoalan teknis juga sangat mengganggu tingkat kesabaran anggota maupun pengurus kelompok perjuangan petani. Dalam jangka waktu tertentu kemungkinan rakyat masih sabar dan belum sadar akan permainan tersebut, namun terus berulangnya kendala-kendala tersebut membuat anggota maupun pengurus kelompok rakyat mengalami kejenuhan sehingga berdampak terhadap daya tahan perjuangan.

Kendala-kendala teknis yang selalu dijadikan alasan penundaan penyelesaian sengketa pertanahan jelas bukan persoalan sepele jika diperhatikan dari pengalaman yang dialami oleh rakyat. Apa yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan merupakan strategi mempermainkan ekspektasi atau harapan masyarakat. Ketika mendengar bahwasannya akan diadakan pertemuan, baik yang difasilitasi oleh legislatif maupun pemerintah daerah (Bupati dan Camat), maka akan melambungkan harapan masyarakat. Ada harapan dan kepercayaan di kelompok-kelompok bahwa sengketa akan selesai, namun ketika harapan tidak terjadi, maka kekecewaaan akan terjadi. Hal itu berlangsung terus menerus sehingga menghancurkan tingkat kepercayaan dan keyakinan akan selesainya sengketa.

Tugas Fasilitator atau Eksekutor

Persoalan lain yang juga berpengaruh terhadap proses penyelesaian sengketa pertanahan adalah ketidakjelasan posisi pemerintah, dalam hal ini pemerintah tingkat Kabupaten, maupun Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 , yakni pada Pasal 2 ayat 2 point c disebutkan dengan jelas bahwasannya pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam penyelesaikan sengketa tanah garapan. Berdasarkan aturan ini, jelas pemerintah daerah adalah pihak yang memegang dua fungsi, yakni sebagai fasilitator maupun eksekutir. Sebagai fasilitator, pemerintah daerah berwenang menyusun normal, standar dan mekanisme ketatalaksanaan berbagai sumberdaya yang diperlukan untuk melaksanakan seperti yang tercantum dalam penyelesaian sengketa tanah. Selain menjadi fasilitator, pemerintah juga menjadi eksekutor. Masih dari Kepres No. 34 Tahun 2003, yang dimaksud dengan menyelesaikan adalah sampai sengketa antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan tuntas, bukan malah mengambang dan semakin berkepanjangan seperti yang terjadi selama ini.

Berdasarkan Kepres No. 34 Tahun 2003 sebenarnya sudah jelas bahwasannya pemerintah daerah yang didukung oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di tingkat kabupaten/kota memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa. Namun yang menjadi persoalan, ternyata kewenangan yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota tersebut telah dimanfaatkan menjadi mekanisme mengaburkan (bukan menyelesaikan), karena hanya menggunakan dua mekanisme, yakni musyawarah, jika tidak diselesaikan akan dilanjutkan melalui pengadilan.

Seharusnya, yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun BPN bukan sekedar mempertemukan pihak-pihak bertikai dalam mekanisme musyawarah mufakat. Jika memang bukti-bukti atau alas hak yang dimiliki sama-sama kuat, mungkin hal itu bisa dilakukan, namun dalam banyak kasus pertanahan, pihak perusahaan perkebunan dalam posisi lemah, bahkan telah melanggar hukum, seperti tidak memiliki HGU, arel perkebunan yang sudah mengambil sebahagian bahkan keseluruhan tanah rakyat (yang dibuktikan dengan surat-surat milik rakyat), bahkan ketiadaan ijin lokasi perkebunan. Berdasarkan kondisi ini sebenarnya pemerintah sudah bisa mengambil beberapa keputusan dalam proses musyawarah. Kenyataannya hal itu tidak pernah dilakukan. Malah pemerintah (yang juga didukung oleh kelompok-kelompok perlawanan) untuk melakukan pengukuran ulang. Memang mekanisme pengukuran adalah salah satu bukti terkuat untuk membuktikan sengketa kepemilikan, namun sebenarnya ini adalah strategi mengarahkan pada kebuntuan penyelesaian, sebab untuk melakukan pengukuran lahan dibutuhkan dana dan mekanisme baru yang sama besarnya dengan penyelesaian sengketa.

Dalam kasus yang dihadapi oleh Kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan di Kecamatan bandar pasir Mandoge, sebenarnya pemerintah harus melakukan pembuktian terlebihdahulu terhadap ketiadaan HGU PT JBP, sehingga menjadi jelas bahwasannya siapa yang telah melanggar hukum. Ketika hal itu sudah dibuktikan, maka pemerintah tentu bisa mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan peraturan yang berlaku, setelah itu barulah dibicarakan tentang tuntutan masyarakat.

Pecah Belah Kelompok Perlawanan

Watak perusahaan perkebunan saat ini dengan masa kolonial memang belum berubah sama sekali, yakni dalam menerapkan strategi pecah belah terhadap kekuatan-kekuatan rakyat. Hal ini juga terjadi di Asahan, bukan hanya dilakukan secara langsung oleh perusahaan perkebunan, namun juga dengan cara meminjam tangan-tangan lembaga swadaya masyarakat maupun pemerintah. Kecenderungan seperti ini jelas telah terjadi di kelompok-kelompok perjuangan rakyat, sehingga melemahkan langkah-langkah mendapatkan kembali hak-hak rakyat.

Salah satu pola klasik namun cukup efektif dalam melakukan pecah-belah perjuangan rakyat adalah dengan cara memberi penawaran kepada salah satu pihak (biasanya terhadap pihak-pihak yang bisa diajak kompromi, pengurus atau pemimpin kelompok dan anggota yang memiliki bukti otentik kepemilikan tanah). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di kelompok tani di Desa Wonorejo Kecamatan Bandar Pulau. Beberapa kali perusahaan sudah mencoba menawarkan uang puluhan juta kepada 6 orang anggota kelompok yang sempat memiliki surat asli kepemilikan tanah untuk memecah kesatuan kelompok.

Masih pada pola yang sama, perusahaan juga dalam kasus PT Socfindo melakukan pecah belah kelompok dengan cara menyelesaikan kasus dengan luas tanah terkecil yang menjadi sengketa. Memang sebenarnya dalam strategi perjuangan dibutuhkan kemenangan-kemenangan kecil rakyat untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan keyakinan akan kekuatan rakyat, namun pada prakteknya, pasca penyelesaian ataupun ganti rugi perusahaan dan pemerintah menitipkan pesan agar kelompok rakyat yang mendapatkan hak nya untuk tutup mulut rapat-rapat dan tidak lagi bergabung dengan kelompok-kelompok lainnya. Ketika hal ini terjadi, maka akan memunculkan kekecewaan terhadap kelompok lain yang pernah sama-sama berjuang dengan kelompok yang dimenangkan oleh perusahaan.

Strategi selanjutnya adalah dengan memberi janji-janji penyelesaian kepada kelompok tertentu dan memperlakukan secara khusus sebuah kasus. Pola seperti ini cukup efektif dilakukan untuk memunculkan kecurigaan diantara beberapa kelompok maupun beberapa orang dalam satu kelompok. Tahap awal yang dilakukan adalah dengan membina hubungan dan komunikasi khusus, kemudian pada saatnya akan diambangkan kembali. Pada kasus di Desa Aek Korsik, Sengon Sari dan Aek Nagaga yang berhadapan dengan PT Socfindo hal ini dilakukan. Di Aek Nagaga, pemerintah dan perusahaan sering mengundang beberapa orang tertentu untuk membicarakan proses penyelesaian sengketa. Dalam pertemuan tersebut biasanya perusahaan menyatakan akan memberi perlakuan khusus sehingga penyelesaian akan cepat selesai. Ketika hal ini didengar oleh kelompok lain, maka muncul kecemburuan bahkan ketidak percayaan.

Pada umumnya cara-cara ini cukup efektif memunculkan kehancuran kepercayaan sesama anggota dan antar kelompok yang tergabung dalam satu forum perjuangan rakyat. Tujuan utama dari perusahaan adalah melemahkan kelompok, sehingga sudah dapat dipastikan janji-janji perusahaan tidak pernah direalisasikan. Hal ini terjadi pada kelompok Wakidi dan kawan-kawan yang bersengketa dengan PT Socfindo Aek Loba. Perusahaan menawarkan kepada beberapa orang untuk melakukan pertemuan secara informal. Ironisnya, beberapa anggota kelompok yakin bahwasannya mekanisme pembicaraan informal bisa menyelesaikan masalah. Saat hal ini didengar oleh kelompok atau anggota lain, maka reaksi yang muncul pun bervariasi. Ada yang percaya dan yakin dengan pendekatan tersebut, ada yang mulai cemburu, ada sebahagian yang curiga adanya permainan antara beberapa orang dengan perusahaan, bahkan bagi anggota yang sudah memiliki pengalaman akan membiarkan hal itu terjadi karena sudah mengerti muara pembicaraan informal tersebut.

Pengetahuan Rakyat Terhadap Hukum Pertanahan

Patut diakui, pengetahuan pengurus atau pemimpin organisasi perlawanan terhadap hukum pertanahan sudah sangat baik. Mereka menguasai hampir keseluruhan undang-undang dan peraturan yang terkait dengan masalah pertanahan, khususnya tentang aturan dan perundangan yang mendukung penyelesaian sengketa pertanahan. Pengetahuan tersebut rata-rata diperoleh melalui pengalaman dan diskusi dengan banyak pihak, baik kalangan LSM, BPN, legislatif maupun pemerintah. Demikian juga dengan tingkat pemahaman pemimpin terhadap substansi hukum dan sosial ekonomi tanah. Sisi-sisi keadilan pertanahan, hak tanah yang dimiliki masyarakat maupun sejarah pertanahan.

Pengetahuan dan pemahaman tersebut ternyata sangat jauh berbeda dengan pemahaman dan pengetahuan anggota kelompok. Jika pengurus dan pemimpin sering membaca undang-undang dan aturan pertanahan, malah sebahagian besar anggota sama sekali tidak pernah membaca UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai undang-undang paling pokok yang mengatur pertanahan. Berdasarkan pengamatan dapat diketahui bahwasannya jarak yang lebar antara pengetahuan dan pemahaman pemimpin dan anggota tersebut disebabkan minimnya keterlibatan anggota dalam proses perjuangan.

Rendahnya keterlibatan anggota dalam proses penyelesaian sengketa secara umum disebabkan oleh dua hal. Pertama, anggota pada umumnya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, baik sebagai buruh di perkebunan, buruh tani, petani lahan sempit maupun pekerjaan sampingan lainnya sehingga menyulitkan untuk diikutsertakan dalam setiap tahapan yang dilalui dalam penyelesaian sengketa. Memang diakui mobilitas pemimpin kelompok memang harus sangat tinggi, karena harus secara aktif menghubungi dan mengunjungi banyak pihak yang mendukung rakyat diluar dari pemerintah. Selain itu, pemimpin atau pengurus organisasi harus juga aktif mendesak pemerintah dan perusahaan untuk segera menindaklanjuti kesepakatan, karena jika hanya menunggu dan pasif, maka biasanya akan dilupakan oleh pemerintah dan pihak perkebunan.

Aktivitas-aktivitas tersebutlah yang selama bertahun-tahun dijalankan pengurus atau pemimpin kelompok, sehingga mengharuskan adanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang aturan dan perundangan pertanahan. Apa yang dialami oleh pengurus dan pemimpin kelompok rakyat berbeda jauh dengan para anggota yang sangat pasif dan hanya menunggu pemimpin untuk mensosialisasikan informasi atau perkembangan terbaru dari sengketa. Akibat minimnya aktivitas yang dilakukan oleh para anggota, maka keinginan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang hukum agraria menjadi sangat rendah. Intinya, para anggota hanya menunggu perkembangan terbaru dan sesekali memberi iuran atau keperluan logistik (terutama dana) untuk tugas-tugas pemimpin.

Minimnya pengetahuan dan pemahaman anggota tentang peraturan dan perundnag-undangan pertanahan juga disebabkan oleh minimnya diskusi yang dilakukan di tingkat kelompok. Sejak kelompok terbentuk, diskusi di tingkat kelompok sangat minim dilakukan, jikapun dilakukan hanya ketika menyangkut hal-hal yang mendesak, sedangkan diskusi dalam upaya peningkatan pengetahuan tidak pernah dilakukan. Menurut beberapa ketua kelompok tani, ketiadaan diskusi tersebut bukan semata disebabkan tidak adanya inisiatif dari pengurus atau pemimpin, namun lebih dikarenakan banyaknya anggota yang menganggap hal itu tidak penting. Pengurus kelompok di mata anggota adalah orang-orang pintar yang berbeda dengan anggota yang rata-rata memang sama sekali tidak mengetahui tentang peraturan dan perundang-undangan pertanahan.

Rendahnya pengetahuan dan pemahaman rakyat tersebut ternyata membawa dampak pada stagnasi organisasi. Seperti yang terjadi di FPTR sebagai organisasi petani yang besar di Asahan. Dari 32 lebih kelompok tani yang tergabung dalam FPTR, hanya 19 kelompok yang kasusnya dimasukkan ke tim penyelesaian sengketa pertanahan yang dibentuk oleh Bupati Asahan. Dari 19 berkas yang dimasukkan tersebut, ternyata hanya 6 kasus yang kemudian menjadi konsentrasi penyelesaian, karena berhadapan dengan satu perusahaan perkebunan, yakni PT Socfindo. Ternyata dari 6 kasus tersebut, saat ini hanya 1 kasus, yakni Kelompok Maju Lestari di Desa Aek Korsik Kecamatan Aek Kuasan yang direkomendasikan dibicarakan sampai ke Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara.

Seluruh anggota FPTR rata-rata sudah mengetahui bahwa aksi yang dilakukan ribuan massa pada tahun 2005 telah berbuah dibentuknya tim oleh Bupati Asahan. Namun yang tidak diketahui oleh anggota adalah tentang kondisi terakhir, tentang tidak adanya kelanjutan pembicaraan 18 kasus lain yang pernah dimasukkan ke dalam tim bentukan bupati tersebut. Di tingkat pengurus FPTR sendiri sebenarnya hal itu sudah menjadi masalah, sebab masing-masing pengurus berasal dari kelompok-kelompok yang berbeda, di kecamatan yang berbeda dengan karakter sengketa yang berbeda. Memfokuskan pada satu konflik untuk bisa diselesaikan pada satu sisi merupakan strategi membangun keyakinan akan perjuangan. Namun di sisi lain, telah muncul kecemburuan dan ketidakseriusan pengurus lain yang merasa kelompok atau sengketa yang mereka hadapi telah ditinggalkan oleh organisasi.

Situasi yang agak berbeda ada Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Aktivitas diskusi secara formal maupun informal kelompok Maju Bersatu dan Kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan membuat para anggota cukup memahami posisi situasi sengketa dan aturan-aturan dasar yang terkait dengan permasalahan yang mereka hadapi. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pertemuan antara organiser atau pengurus SPSU ke kelompok-kelompok sehingga melalui proses sosialisasi, diskusi pemecahan masalah dan dalam penyusunan strategi, para anggota memiliki pemahaman terhadap tentang aturan dan perundangan pertanahan.

4.2.9. Konflik Internal Organisasi dan Pelemahan Organisasi Perlawanan

Semakin lemahnya seluruh kelompok-kelompok dan organisasi rakyat juga dipengaruhi adanya konflik internal diantara anggota dalam kelompok, antara pemimpin kelompok, pemimpin kelompok petani dengan pemimpin organisasi secara keseluruhan, maupun antar organisasi di level struktur yang lebih tinggi. Akar konflik tersebut sangat bervariasi, namun yang paling mendominasi adalah hal-hal sepele, sedangkan hal lainnya adalah terkait dengan perbedaan strategi dan komunikasi.

Ungkapan bahwasannya lemah atau kehancuran kelompok-kelompok rakyat disebabkan oleh persoalan-persoalan kecil sangat mungkin terjadi bagi kelompok-kelompok dan organisasi perjuangan di Asahan, khususnya Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR) dan Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN). Hal-hal kecil yang memunculkan konflik tersebut ternyata sangat mengganggu organisasi sehingga menyebabkan stagnasi aktivitas keorganisasian. Ada beberapa masalah yang dianggap oleh anggota maupun pemimpin kelompok memunculkan konflik, yakni:

  1. Tidak adanya transparansi keuangan kelompok
  2. Anggota atau pemimpin kelompok yang memiliki kedekatan pribadi dengan pihak perusahaan perkebunan
  3. Pengurus atau pemimpin sakit hati karena dicurigai oleh anggota
  4. Terlalu tingginya harapan anggota terhadap pengurus atau pemimpin organisasi
  5. Adanya isu tentang pertemuan-pertemuan tersembunyi atau secara khusus antara anggota/pengurus dengan pemerintah
  6. Minimnya perhatian atau keperdulian anggota terhadap pemimpin kelompok
  7. Tidak berjalannya sosialisasi perkembangan perjuangan
  8. Hubungan yang terlalu dekat antara pemimpin kelompok dengan beberapa anggota
  9. Ketidakjelasan laporan pengutipan iuran
  10. Anggapan tentang lambatnya kerja-kerja pengurus/pemimpin kelompok
  11. Sebahagian orang di dalam kelompok yang terlalu banyak berkorban, sedangkan yang lain merasa tidak mau tau dengan upaya-upaya organisasi
  12. Sebuah kelompok petani yang merasa ditinggalkan
  13. Perbedaan status sosial ekonomi
  14. dll

Beberapa faktor penyebab tersebut muncul dan berkembang secara perlahan, kemudian terakumulasi sehingga menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan antara pengurus dengan anggota, anggota dengan pemimpin kelompok, Salah satu faktor yang cukup besar adalah munculnya isu adanya pertemuan rahasia atau tersembunyi antara segelintir atau satu orang pengurus/anggota kelompok dengan pemerintah. Menurut seorang pemimpin yang dicurigai melakukan hal tersebut, ia diundang secara khusus karena dianggap memiliki pengetahuan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Namun menurut anggota atau pemimpin kelompok lain, tindakan ini dianggap melewati kewenangan dan tidak berdiskusi terlebih dahulu dengan pemimpin organisasi.

Menurut anggota atau pemimpin kelompok yang mengetahui hal ini, telah ada terjadi perjanjian-perjanjian khusus antara anggota atau pemimpin yang melakukan pertemuan dengan pihak pemerintah dan akan meninggalkan perjuangan kelompok. Demikian juga dengan adanya seorang pemimpin yang merasa dicurigai oleh anggota. Situasi seperti ini banyak menimbulkan sakit hati pada pengurus dan tidak mau lagi melakukan kerja-kerja organisasi. Dampaknya, pemimpin tidak lagi aktif melakukan perjuangan karena dia merasa, apapun yang dilakukan pemimpin tetap akan dicurigai oleh anggota.

Di luar persoalan-persoalan di atas, konflik juga disebabkan oleh perbedaan strategi perjuangan, khususnya terjadi antar organisasi di tingkat Kabupaten. Menurut salah seorang pemimpin organisasi, yang dilakukan oleh sebuah kelompok rakyat sudah tidak sesuai dengan langkah-langkah yang seharusnya dijalankan. Menurutnya, sebuah organisasi harus melihat terlebih dahulu kasus mana yang harus diperjuangkan, mana yang harus ditinggalkan. Sengketa yang pantas untuk diperjuangkan adalah yang memiliki alas hak yang kuat sehingga perjuangan tidak menjadi sia-sia. Demikian juga dengan perbedaan antara perjuangan melalui negosiasi, lobby dan surat menyurat. Menurut seorang pengurus, langkah paling tepat yang dilakukan adalah terlebih dahulu mengirim surat kepada pihak-pihak berwenang, antara lain kepada pemerintah daerah, propinsi, BPN Kabupaten dan Provinsi, kepada Presiden, perusahaan dan sebagainya. Langkah tersebut kemudian dilanjutkan dengan dialog pengurus organisasi untuk membicarakan penyelesaian sambil melakukan publikasi melalui media.

Langkah-langkah seperti itu dianggap tidak efektif oleh kelompok atau organisasi lain, karena berdasarkan pengalamannya, dialog, pertemuan, negosiasi dengan pemerintah dan perkebunan adalah sia-sia, sehingga yang paling diperlukan adalah membangun kekuatan massa menunjukkan kekuatan agar pemerintah dan perkebunan memperhitungkan kekuatan rakyat. Namun sayangnya, pandangan yang kedua ini tidak selalu mendapat respon dari para anggota, sehingga pilihan kekuatan massa yang kemudian tidak terlaksana dianggap sebagai isapan jempol saja oleh organisasi lain.

Seluruh persoalan-persoalan konflik internal tersebut sebenarnya sangat biasa dalam organisasi rakyat. Namun yang membuat masalah semakin rumit adalah ketiadaan komunikasi diantara anggota, pengurus dengan anggota, antar pengurus dalam sebuah organisasi, maupun antara pengurus organisasi dengan pemipin organisasi rakyat lainnya. Sampai saat ini, hampir tidak ada pertemuan di tingkat basis kelompok maupun antar organisasi rakyat. Memang ada organisasi rakyat yang mencoba membangun kekuatan bersama dengan membentuk aliansi perjuangan tanah rakyat. Namun pemikiran tersebut belum mendapat respon karena masih tingginya ego organisasi. Ego tersebut ditenggarai oleh kecurigaan bahwasannya di tiap-tiap organisasi memiliki kepentingan dan dilatarbelakangi oleh tujuan yang berbeda. Komunikasi tersebutlah yang sampai saat ini mandeg, sehingga persoalan-persoalan yang memicu konflik internal kelompok maupun internal organ perlawanan petani semakin subur dan merusak organisasi.


IV. Kesimpulan dan Masa Depan Reforma Agraria

Sistem penguasaan dan pengelolaan tanah di Sumatera Utara, terutama di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu, baik dari sisi kebijakan maupun sengketa-sengketa yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang politik pertanahan sejak pra kemerdekaan hingga saat ini. Ini artinya, kompleksitas sengketa dan berbagai kendala-kendala perubahan yang terjadi berakar dari pergolakan dan dinamika politik yang berlangsung pada saat itu hingga sekarang, ditambah dengan peran modal yang semakin kuat mencengkeram sistem penguasaan tanah di Indonesia.

Pasca kemerdekaan tahun 1945, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk melakukan perubahan sistem penguasaan tanah kolonial yang menjadi sumber penghisapan rakyat oleh modal milik Belanda dan Swasta asing. Di samping itu, peran kepemimpinan nasional pada saat itu memang cukup kuat yang didorong oleh kekuatan-kekuatan politik terideologi, baik di tingkat nasional maupun di di kalangan rakyat yang sudah tidak sabar dengan penindasan yang berlangsung. Namun sayangnya rencana berdaulatnya tanah untuk rakyat tidak terlaksana akibat tidak konsistennya kepemimpinan nasional, masuknya kekuatan militer, dan yang paling penting adalah penghancuran secara sistematis kekuatan rakyat dan perampasan hak-hak politik pasca 1965.

Sejak itu, sistem politik Indonesia diprioritaskan pada pertumbuhan ekonomi, dimana seluruh sarana-sarana investasi dibuka se lebar-lebarnya, antara lain dengan keluarnya undang-undang penanaman modal asing, kehutanan dan pertambangan pada tahun 1967. Pasca keluarnya kebijakan tersebut, sistem penguasaan dan pengelolaan tanah pun mundur ke masa kolonial, walaupun dalam versi yang berbeda, dimana tanah dijadikan komoditas ekonomi. Dengan paradigma pembangunan seperti itu, rakyat pun perlahan-lahan mulai terpinggir.

Periode awal peminggiran rakyat dari tanah sebagai penopang hidup adalah pada kira-kira tahun 1957 ke atas. Pada saat itu, selain melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, pemerintah rejim Soekarno juga mulai menerima perusahaan-perusahaan asing selain Belanda yang mencoba menguasai kembali perkebunan yang telah mereka tinggalkan sejak pemerintah fasis Jepang menguasai Indonesia. Pada periode ini, rakyat yang sebelumnya telah mendapat ijin menggarap tanah perkebunan, membuka hutan untuk pertanian mulai terusik. Walaupun pemerintah memberi perlindungan melalui Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 yang menyatakan pemerintah (melalui gubernur) diberi tugas menyelesaikan penyelesaian masalah tanah dengan perusahaan tanpa merugikan masyarakat.

Sayangnya, upaya perlindungan terhadap rakyat yang telah menggarap tanah tersebut pun tidak berlangsung lama. Munculnya gejolak politik tahun 1965 menjadi titik balik kehancuran kekuatan rakyat, karena pemerintah dan perusahaan perkebunan kemudian ingkar janji dan tidak melanjutkan penggantian tanah atau pemindahan rakyat ke kawasan baru sesuai perjanjian dengan pihak perkebunan. Rakyat yang menolak kemudian diintimidasi dan distigmatisasi sebagai anggota organisasi terlarang. Ketakutan pun muncul, dan rakyat tidak berani menuntut hak-hak yang telah direbut oleh perkebunan.

Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yang tidak menghormati hak-hak ulayat, yakni dengan mengesampingkan kepemilikan tanah secara adat. Pemerintah dengan sengaja menggunakan hukum positif dalam penyelesaian sengketa tanah sehingga kepemilikan komunal yang didasarkan pada hukum adat selalu dikalahkan dalam sengketa-sengketa tanah.

Keluarnya undang-undang dan segala aturan yang mendukung pertumbuhan ekonomi melalui pengutamaan investasi pun menjadi momentum kedua akar konflik. Rakyat yang telah mengelola tanah sejak lama pun kemudian digusur atas nama hak guna usaha. Perkebunan dan pemerintah sengaja memanfaatkan ketiadaan alas-alas hak formal atas tanah guna dijadikan perkebunan-perkebunan swasta dan negara dalam skala luas.

Pada tahun 1970-an sampai1980-an pun situasi semakin sulit bagi masyarakat. Investasi perkebunan yang membutuhkan tanah dalam luasan besar pun menghalalkan segala cara, terutama mengkonversi tanah pertanian rakyat untuk perkebunan karet dan kelapa sawit. Rakyat pun harus keluar dari tanah yang telah puluhan tahun ditempati, digantikan oleh hamparan perkebunan. Selama puluhan tahun pun rakyat kemudian diam diakibatkan politik mengambang dan kuatnya hegemoni kekuasaan.

Barulah pasca 1998 rakyat bergolak kembali, salah satunya adalah perjuangan-perjuangan rakyat. Namun kali ini bukan hanya rakyat yang tanahnya pernah dirampas oleh perusahaan yang melakukan perlawanan, masyarakat tak bertanah, petani miskin yang tinggal di sekitar perkebunan dan hutan pun menuntut hak-hak atas tanah dengan dasar keadilan sosial, hak-hak sipil dan kemiskinan, sehingga wajar saja jumlah sengketa tanah pada tahun 2006, kasus pertanahan di Indonesia sudah mencapai angka 2800 kasus.

Sayangnya, tingginya jumlah sengketa tanah tersebut tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan sengketa-sengketa tersebut. Di Kabupaten Asahan saja saat ini sudah terjadi 122 kasus tanah yang belum terselesaikan, belum lagi potensi konflik yang akan muncul akibat revitalisasi perkebunan yang akan terjadi di masa yang akan datang akibat lambatnya penanganan konflik tersebut, terjadi gejolak-gejolak di masyarakat dan akhirnya berwujud pada hancurnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang dianggap terlalu berpihak kepada perusahaan perkebunan.

Memang diakui selama ini masih sangat minim aturan-aturan yang bisa digunakan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan. Cara paling umum yang dilakukan ada dua, yakni musyawarah dan melalui pengadilan umum. Cara pertama adalah yang paling sering dilakukan, sedangkan cara kedua adalah yang paling disenangi perusahaan dan pemerintah. Walaupun dianggap cara paling awam sekaligus tidak memberatkan pihak-pihak yang bersengketa, namun pendekatan musyawarah pendekatan ini cenderung menjebak rakyat dalam alur yang tidak berbelit dan berakhir dengan ketidakpastian. Sedangkan penyelesaian melalui hukum sangat menguntungkan perusahaan perkebunan karena bisa mempengaruhi proses hukum yang dijalankan dan punya ketahanan untuk menjalani proses hukum dalam jangka waktu panjang.

Perjuangan rakyat semakin sulit ketika ternyata kendala bukan hanya datang dari ketiadaan perlindungan hukum, rumitnya birokrasi, ketidakjelasan mekanisme musyawarah yang ditawarkan pemerintah dan mahalnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Kendala juga muncul dari internal organisasi-organisasi perlawanan, antara lain tentang ketimpangan pemahaman antara pemimpin dan anggota, tidak berjalannya kerja-kerja konsolodasi kelompok, macetnya komunikasi internal maupun antar kelompok perlawanan rakyat. Selain itu rakyat masih mudah terpengaruh dengan tawaran-tawaran perusahaan yang cenderung memecah kelompok dengan membangun prasangka, kecemburuan, curiga dan egoisme antar kelompok.

Masa Depan Reforma Agraria

Keluarnya pernyataan-pernyataan presiden tentang akan dilakukannya reforma agraria sangat menyegarkan untuk didengarkan dalam kondisi dimana masyarakat semakin terpinggir. Ketika modal semakin menguat mencengkram segala sisi negeri ini, pemerintah seakan menemukan kembali semangat reforma agraria yang pernah digulirkan pemerintah rejim Soekarno. Namun jika dilihat dari realitas di lapangan, tampaknya kecenderungan ke arah itu masih sangat jauh.

Di beberapa pemerintah kabupaten saat ini sudah mulai dibicarakan tentang program landreform, bahkan di Asahan sudah dalam bentuk proyek percontohan, walaupun objek tanah landreform bukan tanah negara, namun jelas-jelas tanah milik rakyat yang dirampas perkebunan. Tentu saja rakyat senang dengan program tersebut, karena lelahnya berjuang sudah menampakkan hasil. Sayangnya kemenangan tersebut dinodai dengan ketidakjelasan pembiayaan sertifikasi dan permintaan 15% oleh pemerintah dari tanah yang dimenangkan untuk membangun fasilitas umum.

Rapat-rapat yang dilakukan pemerintah juga sangat tertutup. Beberapa kali pertemuan pemerintah daerah tidak pernah mengikutsertakan masyarakat, padahal suara rakyat adalah yang paling penting dalam proses perencanaan landreform. Selain itu, landreform yang dicontohkan pemerintah ternyata tidak diikuti dengan penguatan kapasitas rakyat. Di beberapa tempat, seperti di Asahan dan Deli Serdang, landreform dibiarkan terlepas tanpa dilanjutkan dengan reforma agraria, sehingga tanah yang dimenangkan rakyat kemudian dijual kepada pihak lain yang bukan petani. Malah pemerintah, dalam hal ini Pemda Kabupaten dan BPN membuka lebar-lebar pihak Bank dan perusahaan-perusahaan besar untuk menjadi penjamin dan bapak angkat usaha masyarakat. Satu sisi ini langkah baik, namun jika dilihat pengalaman sebelumnya, baik itu program bapak angkat, Program Inti Rakyat (PIR), dan kredit lunak terhadap petani tidak berhasil mengangkat ekonomi masyarakat, malah membuat rakyat semakin terjebak dalam hutang sehingga terpaksa menjual tanahnya.

Belum lagi dilihat dari kriteria-kriteria yang akan disusun untuk pelaksanaan landreform. Sampai saat ini belum jelas untuk siapa tanah yang akan didistribusikan, dan status tanah seperti apa yang akan dibagikan ke masyarakat. Belum jelas bagaimana status kurang lebih 50.000 Ha tanah sengketa, lebih dari 25.000 kepala keluarga dan tidak kurang dari 125.000 orang yang saat ini sedang berjuang mendapatkan hak-hak hidup di Kabupaten Asahan. Demikian juga di Kabupaten Labuhan Batu, Deli Serdang, Langkat, Simalungun, dan Serdang Bedagai yang selama ini menjadi sentra perkembangan perkebunan. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan di Kabupaten Asahan.